Thursday, May 31, 2007

Pasuruan Berdarah

Saat bumi terampas

Tercerabut dari kaki-kaki telanjang

Tersingkir dari wajah-wajah jelata

Tergusur tanpa rasa



Para kaki telanjang tak lagi memebisu

Singsingkan lengan bulatkan tekad baja

Melawan tiran bersenjata batu

Torehkan sejarah di bumi pasuruan



Merah darah membanjir

Anyir merah darah semerah dada mereka yang menganga

Saat peluru-peluru maut menerjang

Mengincar sasaran tanpa kenal ampun

Di antara kaki-kaki telanjang

Di antara celotehan bocah-bocah telanjang kaki

Mengamuk menebarkan maut keji



Kaki-kaki telanjang menggelepar

Terbujur kaku memerah segar Laksana lembayung sore hari

Terlindas tiran tanpa nurani

Terbungkam kembali dalam bisu

Terbelenggu ketidakberdayaan diri

Di bawah tiran haus darah

Wednesday, May 30, 2007

Serigala

Nyala mata liar memerah darah
garang menerjang setiap lembah
nanap mencari mangsa

Lolongan nyaring saat menyerbu
mengintai, mengepung mangsa
cakar-cakar maut menyerang tanpa ragu
mencabik, merobek ke segala penjuru
hingga tak bersisa


Serigala-serigala kelaparan
tamak puaskan nafsu keserakahan
hingga perut mengelembung api
berpesta di atas serakan bebangkai
dengan nyala mata liar memerah darah


Serigala-serigala berkuasa
menjarah, merampok, memperkosa
rakyat adalah mangsa
pemuas dahaga keserakahan dunia
tercengkeram dalam cakar serigala
tanpa daya melawan sang penguasa


Serigala-serigala bermahkota
nyala mata liar memerah darah
berkeliaran dengan cakar-cakar maut
berbaju penguasa
diagungkan
sekaligus
dibenci

Monday, May 28, 2007

Rindu

Rinduku menanti mati
Matiku menanti rindu
Sepi menggigit rasa
Gundah membelenggu hati
Menanti rindu yang menunggu mati

Thursday, May 24, 2007

Surti dan Merpati Putih

Surti menatap wajah barunya di cermin dalam bisu. Sepasang lengkung alisnya serupa sabit kembar di tengah langit kelabu malam hari. Bedak tebal melukis wajah bulat telor seperti adonan tepung saat membuat kue donat. Sepasang mata dengan bola mata yang menghitam sehitam malam tanpa cahaya turun naik menahan beban bulu mata palsu yang bergelayut. Bibirnya memerah bagaikan merahnya api dalam sekam. Surti terus menatap bayangan kembarannya di cermin tua yang tergantung di kamar sempit yang pengap ini. Hatinya menciut saat dia menatap wajah itu. Wajah berpoles yang manja penuh make up tebal seperti wajah perempuan-perempuan malam yang kelayapan di gelapnya malam.
“Surti, sudah siap belum. Jangan kau lama-lama mengagumi wajah barumu itu di cermin. Cermin itu sumber penipuan yang akan membinasakanmu saat kau lengah. Cepatlah bergegas atau pelanggan pertamamu akan mencari sambaran lain yang lebih molek dari kau karena tidak sabar.” Teriakan wanita yang biasa dipangil Mami itu terdengar tidak sabar sambil menggedor pintu kamar reyot itu tanpa ampun.
Tersentak dari lamunan, saat suara Mami mengelegar membelah malam sampai-sampai cermin di hadapannya ikutan bergetar ketakutan hingga sirna wajah kembarannya itu. Dingin malam begitu menggigit dan mengeretas tulang-belulang yang membalut tubuh rampingnya yang memang kurang makan dan bukan karena sengaja merampingkan badan. Apalagi dengan balutan baju yang serba kekurangan bahan semakin menambah duri-duri dingin malam yang menusuk. Sebagian dadanya menyembul ke permukaan bagaikan dua gunung kembar yang siap meletus dan rok mininya hamper tidak bisa menyembunyikan dua paha ramping mulus. Bagian-bagian tubuh yang dulunya rapat dia tutupi kini semua terbuka tanpa kain penutup. Surti merasa terasing dengan dirinya tapi pilihan hidup baginya amatlah sedikit.
Dari balik jendela kamar reot ini terlihat merpati putih itu bertengger di dahan pohon. Matanya bersinar terang kontras dengan warna malam yang pekat. Merpati putih itu memandangnya tajam hingga serasa memakunya tanpa ampun di kursi di mana ia duduk. Mengapa dia selalu mengikuti ke manapun aku berada. Setiap saat dia akan selalu hadir bertengger di dahan pohon atau pun di daun jendela sambil terus memandangku. Kadang kala dia mengeluarkan suara aneh yang tidak aku mengerti tapi bisa kupahami. Dia selalu hadir di hari-hariku saat semua orang tidak lagi memperdulikanku entah itu siang entah itu malam. Terkadang aku bertanya apakah dia tiadak punya rumah, keluarga, atau saudara seperti aku ini. Tapi aku masih punya keluarga setidaknya satu-satunya permata yang kumiliki di dunia ini.
“Mak, kapan Bapak pulang? Sholeh pengin punya Bapak seperti teman-teman Sholeh yang lain di sekolah. Sholeh ingin bermain sepak bola dan memancing dengan Bapak. Sholeh tidak mau lagi dipanggil sebagai anak haram karena Sholeh punya Mak yang baik.”
Setiap kali mendengar pertanyaan soal lelaki yang menjadi ayah biologis anak semata wayangnya ini, kebingungan dan ketakutan menyerbu setiap penjuru hati Surti. Di mana dia mencari segala jawaban yang telah dia sembunyikan rapat-rapat dalam sebuah peti. Kemudian dia menguncinya dengan gembok baja kuat dan tidak seorangpun mampu membukanya. Peti dan kunci itu telah dia buang jauh-jauh di kedalaman laut hitam yang terdalam. Ya, laut hitam terdalam yang telah mengelilingi kehidupannya.
“Mak, Sholeh sangat sayang ma Mak dan tidak ingin melihat Mak bersedih.”
Sholeh, anak semata wayang Surti yang baru berusia 7 tahun merupakan satu-satunya yang memahami perasaannya meskipun tidak mengerti. Surti tidak pernah lagi menangis sejak kebahagian hidupnya terengut dari kehidupannya. Dia berjanji pada dirinya bahwa tidak akan ada lagi airmata tertumpah. Mungkin pula karena sudah tidak ada lagi airmata dalam matanya yang telah mengering hingga Surti tidak bisa menaggis lagi. Tapi Sholeh, anak semata wayangnya, selalu memahami saat hatinya sedang tercabik pilu. Pemahaman dalam keterbatasan usianya membuatnya tidak lagi bertanya soal Bapaknya setelah setiap tanya dijawab dengan bisu dan pilu

Braag… terdengar derit pintu bercericit saat dibuka secara paksa. Pintu usang yang telah lapuk dimakan usia itupun terkapar tanpa daya saat Mami menerobos masuk diiringi 2 tubuh lelaki kasar yang mengiringinya.
“Kamu tuli ya? Dengar tidak kau aku memanggil-manggil dari tadi tanpa sahutan, ha!”
Dengan kasar wanita yang biasa dipanggil Mami itu menarik rambut hitam legam Surti sambil terus bersumpah serapah. Surti pasrah tanpa perlawanan sedikitpun ibarat seekor rusa yang digelontorkan ke tengah arena gladiator yang dipenuhi singa buas. Baginya perlawanan dengan kehidupan telah menghabiskan seluruh energi yang dimilikinya. Semua telah mengering tanpa sisa. Singa-singa itu terus mengerubuti dan menggiringnya melewati lorong-lorong gelap rumah biadab yang dipenuhi kamar-kamar reot nan pengap. Bau wewangian bercampur alcohol dan asap rokok menebarkan racun ke seluruh penjuru rumah. Racun yang paling mematikan tersembunyi di balik kamar-kamar gelap sepanjang lorong ini saat transaksi terkutuk merajai. Cakar singa betina garang itu baru berhenti mencengkeram saat mereka tiba di depan kamar bernomor 1301. Segera kedua serigala yang dengan setia mengikuti tadi segera membuka kamar dan seketika Surti didorong paksa ke ruang siksa yang mengerikan. Segera pintu tertutp kembali dan suara anak kunci terdengar.
Tubuh Surti menggigil hebat dalam takut. Kedua tangannya berusaha menutupi dadanya yang menjulang sementara kedua matanya perlahan belajar melihat dalam remang kamar yang temaram. Surti bergidik dalam ngeri teramat sangat. Sesuatu mengelitik di ujung jiwanya yang terdalam. Peti yang menyimpan jawab atas rahasia terdalam itu seakan menemukan anak kunci untuk membukanya. Satu persatu pintu-pintu peti itu terkuak kembali.
Ya…kejadian 8 tahun lalu seakan berkelabat dalam ingatannya. Saat Surti baru berusia 15 tahun dan masih duduk di bangku SMP. Kejadian yang telah merenggut semua kebahagian yang pernah diimpikan gadis seusianya. Saat seseorang yang paling dia segani dan paling dia percaya tiba-tiba berubah menjadi serigala garang tidak kenal ampun. Bayangan itu mulai membentuk gambaran nyata dihadapannya…begitu jelas.
Saat itu lelaki yang merupakan sahabat karib Ayah Surti sekaligus tokoh di desa mereka tiba-tiba menyeretnya ke dalam salah satu kamar di rumahnya. Ya, saat itu dia berjanji akan mengusahakan beasiswa sehingga Surti bisa melanjutnya sekolahnya. Apalagi sebagai kepala sekolah dia punya banyak kenalan yang bisa memuluskan jalannya. Saat dia menyuruh Surti datang ke rumahnya dengan alasan melengkapi persyaratan administrasi merupakan saat mala petaka itu terjadi.
Teriakan dan rintihan Surti bagaikan angin lalu saat tubuh lelaki setengah baya itu mulai melumat tubuh tak berdosa itu. Tanggisan dan kesakitan gadis itu malah membuatnya makin senang melampiaskan nafsu setannya. Hingga akhirnya gadis muda itu tidak lagi melawan. Gadis itu melewati semua kesakitan dan deritanya dalam bisu sebagaimana saat semua penduduk di desanya menghinakannya saat perutnya mulai membesar. Tamparan dan tendangan ayahnya ribuan kali mendarat di badannya karena aib yang kini dibawanya hingga ibunya tidak lepas menerima tendangan dan pukulan saat melindungi tubuh putrid semata wayangnya. Tidak ada yang percaya dengan cerita gadis berusia 15 tahun yang menuduh tokoh paling disegani yang merupakan calon kuat kepala desa sebagai pelaku tindakan amoral. Penduduk desa dan tokoh agama di desa ini menuduh itu hanyalah rekayasa gadis dari keluarga miskin untuk mendapatkan uang guna menyambung hidupnya dengan mencemarkan nama tokoh terpenting di desa ini. Bahkan laporan ke polisi pun kandas di tengah jalan saat mereka tidak memiliki uang untuk melaporkan kasus perkosaan tersebut.
Penderitaan belum berakhir saat ayah kandungnya mengusir Surti dari rumah karena dianggap sebagai pembawa aib. Meskipun ibunya menanggis pilu namun tidak kuasa meluruhkan kekerasan hati sang ayah. Dengan hati hancur, gadis desa berusia 15 tahun itu meninggalkan desa satu-satunya yang pernah dia kenal. Saat itu pula merpati putih itu terbang mengiringi dalam bisu dan dalam lara.
“Bu Surti, anak Ibu tidak bisa dibawa pulang sebelum Ibu melunasi biaya pengobatan dan biaya administrasi sebesar 500 ribu rupiah. Jika belum dilunasi anak Ibu terpaksa akan kami tahan di sini.”
Surti, ibu muda berusia 23 tahun ini tidak mengerti mengapa orang semiskin dia masih harus disuruh membayar biaya rumah sakit yang begitu besar. Dengan penghasilan kurang dari 30 ribu per hari sebagai penjual nasi uduk keliling mana mungkin dia punya uang sebesar itu. Tapi Surti tidak mungkin membiarkan putra semata mayangnya, Sholeh, tergeletak di rumah sakit. Dalam diri putranya ini tergantung cita-cita dan harapan. Belum pernah Surti sekejab pun berpisah dengan buah hatinya ini. Ah… mengapa orang-orang di dunia ini tidak ada sedikit pun yang memiliki rasa kemanusiaan. Rumah sakit yang seharusnya mengobati orang sakit malah mengenakan biaya bagi si miskin yang justeru semakin menambah kesakitannya. Darimana uang itu didapat?
“Surti, daripada kamu jualan keliling lebih baik kau kerja saja di tempatku. Gampang dapat duit banyak dank kau tidak perlu berjalan jauh dan kecapekan sampai tua.”
Wanita yang sering disebut Mami di gang dekat rumah kontrakan Surti selalu berusaha keras membujuknya bekerja di kelab malam sekaligus rumah bordil di mana ia bekerja. Surti tidak pernah mau menaggapinya. Satu-satunya harta yang masih dia jaga adalah Sholeh dan harga dirinya. Tapi saat Sholeh tergolek tanpa daya di rumah sakit menunggu uang tebusan, Surti tidak hanya punya pilihan di antara dua, Sholeh dan harga dirinya. Saat tidak ada uluran tangan yang mau menolongnya mengatasi kesulitan, Surti terpaksa karena dipaksa oleh keadaan. Surti membulatkan tekad. Merpati putih itu masih bertengger di jendela kamarnya yang sempit. Matanya menatap tajam hingga menembus jiwa Surti. Ah, aku tidak punya pilihan, kuharap kau memahamiku.
Lelaki yang duduk di tepian ranjang itu terus menghisap nikmatnya lintingan putih yang sesekali mengepulkan asal sambil minum segelas anggur. Bau alcohol bercampur asap segera menyeruak hidung Surti dan seketika membuat perutnya meronta-ronta. Lelaki itu memandang tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki dan terus menatap lekat kea rah tonjolan kembar yang sedari tadi berusaha dia tutupi dengan kedua tangannya.
“Heh, Mami bilang kau butuh duit banyak. Jika pelayananmu memuaskan aku akan memberimu banyak uang yang belum pernah kau lihat dalam hidupmu. Mendekatlah agar aku bisa melihatmu.” Lelaki itu mengisyaratkan Surti agar duduk di ranjang sambil menyeringai puas.
Perlahan Surti mulai mendekat. Bayangan Sholeh anak semata wayangnya yang tergolek di rumah sakit menguatkan langkah-langkah kakinya yang membatu. Dari balik jendela kamar remang itu Surti melihat merpati putih bertengger di jendela. Warnanya begitu putih bagaikan awan putih yang berarak di langit desa saat Surti masih kecil. Merpati terus menatapnya dengan tajam. Warna putih itu tiba-tiba memudar mendekati kelabu…warna itu perlahan mulai menyatu dengan kelam malam. Perlahan Surti menatap lelaki di atas ranjang yang menyeringai. Saat mata mereka bertemu, seketika itu baying masa lalu tergambar jelas.
Bara api yang selama ini dipendam di kedalaman hatinya tiba-tiba mulai membakar hatinya. Panas mulai menjalar dan hatinya mulai berubah bagai bara sekam yang siap membakar sekelilingnya. Surti tidak kuasa lagi menahan bara sekam itu untuk menyambar keluar bagai panah api yang terlepas dari busurnya. Merah api yang membakar hati Surti menyatu dengan temaram kamar. Warna merah itu mulai menyatu dengan merah hitam cairan yang mulai mengaliri sprei putih di atas ranjang tua itu. Warna merah yang begitu indah di mata hitam Surti. Lolongan serigala di atas ranjang itu bagaikan simponi musik yang selama ini diam-diam dia rindungan seiringan semburan air mancur merah dari dada serigala itu…serigala itu melolong panjang sebelum akhirnya salah satu cakara tajamnya menghujam ke tubuh Surti.
Braag…terdengar suara pintu didobrak dari luar hingga roboh. Teriakan dan jeritan ketakutan mulai terdengar di seluruh rumah jahanam itu. Sirine mobil polisi mulai meraung-raung bagaikan lolongan anjing malam.
Tubuh Surti tergelepar di lantai bermandikan warna merah hitam. Pecahan botol kaca masih tergenggam erat di jari-jemarinya yang berwarna merah. Mata Surti menatap Merpati Putih yang telah berubah kelam. Merpati terbang dan hinggap di dada Surti yang kembang kempis sambil menatap tajam ke mata Surti. Warna kelam itu seketika berubah merah hitam dan sesaat kemudian berubah putih kembali bagaikan warna awan putih yang berarak di langit desa di mana dulu Surti pernah menghabiskan 15 tahun hidupnya.
“Terbanglah, ceritakan padanya tentang kisahku. Ceritakan padanya betapa besar cintaku padanya dan betapa besar benciku pada ayahnya.”

My Poems Compilation

April 30, 2007

Sahabat



Saat hati ini tersayat luka
kau sekejab duduk di sampingku
lalu pelan kau berkata
'aku akan petik bulan di langit untukmu'
aku bertanya
aku tidak ingin bulan
kau menjawab
tapi kau suka cahayanya
yang selalu kutatap tanpa kedip
sampai kau menari dan tertawa
aku ingin petik bulan di langit senja
agar kau bisa menari dan tertawa
tanpa takut ia menghilang lenyap

aku bertanya lagi
mengapa? apa yang kau inginkan sebagai imbalan?
lalu kau menjawab lagi tanpa bosan
Ah bodoh kau
aku tak ingin apapun darimu
aku tak ingin hatimu
aku tak ingin tubuhmu
aku tak ingin jiwamu
aku hanya ingin kau tertawa
menari bersama bulan
itu sudah cukup bagiku

Aku heran dengan jawabmu
makin aku tak mengerti
lalu kau berkata lagi
aku ada jika kau bahagia
aku ada jika kau berduka
aku hadir saat kau tertawa
aku hadir saat kau menanggis
tapi aku lebih menikmati hidup
jika kau bahagia dan tertawa
karena kau adalah temanku

Aku menatapmu dalam bisu
diam seribu bahasa
kita berdua menatap bulan
yang telah kau petik dengan asa
aku mulai mengertimu
tapi aku ragu
apakah aku bisa sepertimu



APRIL 30, 2007

Teman Diujung Jalan



Aku rindu kalian
teman di ujung jalan
saat kita berbagi tawa dan duka
setiap menapak aspal dan bebatuan
susuri tepi hari dari hari ke hari
saat tak ada maksud sembunyi
saat teman adalah teman
bukan teman di dalam suka
atau teman di dalam duka
pun teman terselubung makna

Aku sangat rindu kalian
teman di ujung jalan
yang selalu ada di penghujung langkah
saat tiada lagi yang mengaku teman
atau pun layak disebut teman

Aku mati merindukan kalian
yang selalu setia di ujung jalan
tiada muslihat apalagi tipu daya
Aku hidup merindukan kalian
berjalan bersama di penghujung jalan
melangkah diam dalam sepi
berbicara melalui hati
sampai tiba di gerbang waktu
tempat pertemuan kita yang abadi





APRIL 28, 2007

Perempuan Diujung Peron



Sore menjelang malam
Saat duduk diam menuggu kereta
seonggok buku di tangan yang tak terbaca
diseling riuh rendah hiruk pikuk lolongan ular besi
di tengah para pekerja yang hendak pulang
yang menyemut tanpa buntut

Perempuan itu duduk bersila
di ujung peron stasiun
rambutnya panjang terurai tak terurus
menutup sebagian wajah dan dadanya yang telanjang
Matanya menatap kosong
seakan itu hanyalah jasad tanpa jiwa
Perempuan itu diam tanpa suara
yang mungkin telah hilang tertelan waktu
dalam gelap lubang penuh ular berbisa

perempuan di ujung peron stasiun
diam bagai patung
tak bergerak
tak berteriak
tak menanggis

Perempuan itu membisu
saat aku menatap matanya
semburat amarah memercik di bola mata
sesaat kemudian menghilang
kembali tanpa makna
kereta melaju bagai kilat
menyibakkan rambut perempuan itu
hati berdetak cepat secepat kereta
saat melihat luka itu
tak terhitung jumlahnya
tak terkira perihnya


Perempuan diujung peron stasiun
Duduk bagaikan monumen di ujung dunia
yang terabaikan dan tersia
di tengah pongah kehidupan
di tengah dunia tanpa air mata
tersudut dan terhina
sendiri menatap sepi
hingga maut menyepi bersamanya
April 05, 2007
Pulau-Pulau Yang Terbuang


Pulau-pulau menggelepar
Menjerit merintih dan terkapar
menggelinjang kepanasan terbakar
mengaduh tanpa satu pun yang mendengar
teraniaya oleh sosok-sosok nazar
terhina dan terlantar

Pulau-pulau meregang nyawa
nafas tersenggal dalam luka
saat perutmu dibedah dan dibongkar
terserak pilu di setiap penjuru
saat nadimu dihunjam selaksa senjata
kerumunan nazar-nazar beton yang berderit

Nazar-nazar terus mengintai
mata nyalang seekor pemburu
berpatroli mencari mangsa
demi puaskan hasrat pribadi
nafsu keserakahan duniawi
nurani pun tergadai
mata hati mati
hingga iblis merajai

Pulau-pulau berguguran
bak pepohanan terlalap api
gersang tandus dan hampa
Sang tuan pun seolah tak perduli
mata buta telinga tuli
nurani tergadai tanpa peri
hilang tertelan gelap setan durjana
hingga pulau-pulau terserak
menunggu kerak kematian menjemput


March 25, 2007
My Greenly Homeland



When I was young
I saw little green Pasteur and prairies
Grass waved happily in a sunny day
Trees on the hillsides exposed their fresh greenly leaves
Butterflies danced around the rosebuds
Enchanted the world with their beauty
Nature sang a beautiful song
Such was my homeland

when time elapsed many years
I saw grey dried vast land
Hills were bare naked
Baked by the burning sun
Trees withered and died
Drought captivated all
Nature wept in sorrow
Sang a heartbreaking melody
That echoed throughout the wind

I sat on my knees
Tried hard to figure out what was going wrong
Sought an answer that was already there
I cried but tears didn’t come
For I knew well what was the cause
And I prayed to dear Lord
That it may not be late
To save what was dying

I was old now
Many changes taken place
There were no more trees or grass
Only concrete walls and skyscrapers
Stood arrogantly in what used to be my greenly homeland
Piercing through the skies
As if trying to challenge The Creator
Old as I was
Too tired to fight
Too exhausted with many defeats

I was dying
Together with my greenly homeland
No longer curious of what tomorrow would bring
For I knew very well now
I saw clearly now
That the future was dying
If no one cared no more

March 25, 2007

Death



When you stopped breathing
Pulse withered
Heart no longer beat
Blood began to froze
Breath choked in your throat
And the death drew your soul away
To leave your mortal shape
Your sentence was death
Beloved and friends mourned
Shed their tears for their lost
They escorted your lifeless form into the grave
Buried in dust and sand
Left you all alone in the Hand of The Justice
Kept your remembrance deep in their heart

When your heart felt numb
Incapable of feeling any emotions
Sensed nothing but emptiness
and it became dark as the night
your soul decayed inside
black as the blackest night
what was left only a heartless being
cursed by evil
and led into hell
beloved and friends grieved by you
shed tears for what you became
and cursed you until your death
you turned into zombie
alive yet dead


To You



To You,
I rest my hope and destiny
My sorrows and pains
My joys and laughter
Towards my designated fate

To You,
I lay my deepest gratitude
For the sorrows and pains
For the joys and laughter
For which I feel alive

To You,
I shed tears of a mortal
In the most gracious moments
When life fades away
When the lights dim away
When death approaches
And regrets come too late

To You,
I submit all the glories,
The trophies,
Left in a dust

To You,
I shall return
For the Judgment Day
When there’s nothing to hold on
But Your mercy and love

March 14, 2007

Grief



I grieved
for the land where i was born and raised
I mourned
for the lives that had been lost
snatched away from their beloved
by the force of negligent
some hypocrites and fortune hunters
who counted life as mere merchandise

i was so very mad
for those who called themselves people's representatives
who debated and argued
killed each other in the political scene
for their purpose only
and in the end no solution came in


March 14, 2007
The Dying Universe


The earth split in two
Worms and maggots shrieked in terror
the smell of decay was so strong
the odor spread so quick
Making any human turned in disgust
making the stomach danced crazily
the whirlwind rushed in the air
swirling and swirling in agony
the heaven was clouded in black
so thick and dark
Death wandered around
pierced into the very soul of the universe
the earth shaken in terror
frozen into a magnitude of silence
Who's to blame?
For the decay and the death of this earth
who's to turn to?
for the sheer tremor and horror
The earth is dying
Weeping in anguish
for the lost she never caused

March 13, 2007
Life Is



Life is happiness
Sadness
Madness
Joy
Blends into one symphony

Life is love
hate
jelousy
yearning
mixed into bitter sweet taste
of rainbow

Life is passion
desire
lust
combined in harmonious tone
You are not alive
Before tasting all these emotions
You are not capable of loving
Before you feel life inside you
You are dead
when one emotion emprison you
trap you inside
stop you from breathing
Life is love
Love is life

March 13, 2007
Terbang

Tubuhku ringan melayang
Bagai untaian kapas putih tersapu desir angin senja
Mengejar camar di samudera biru
Kepakkan sayap putihku
Dengan segenap rasa hati
Menyelinap di antara awan
Bersaing dengan camar yang menari bebas di angkasa

Ah... begitu indah dunia terlihat dari atas
Membias biru di bawah sinar lembayung
Pias paras sang matahari lembut menyapu
Ucapkan perpisahan menjelang sore
Nyiur kelapa melambai syahdu
Mengiringi debur ombak pantai memecah pantai

Ah … indahnya saat aku terbang
Begitu bebas lepas nikmati senja biru
Bersama riuh camar
Sambil mendengar bisikan angin sepoi
Terbang...
Lepas...
tanpa beban...
saat melayang...
sampai akhirnya terbuka mata...
saat kaki kembali menapak bumi...
butiran pasir putih menyisir...
seiiring buyar anganku...



MARCH 12, 2007
Mengejar baying

Berlari mengejar sang mentari
Warnanya elok keemasan
Membangkitkan gairah saat menyapa mata
Begitu indah bagai singasana raja surgawi
Hasrat ingin menyentuh dan merengut barang segumpal
Menyimpan dan mengunci dalam peti besi
Hingga ia tak bisa tercuri

Saat malam menyelimuti bumi
Hitam pekat tanpa warna dan gairah
Mencengkeram seiisi semesta
Warna emas pun pudar sirna tanpa bekas
Tergantikan sang dewi malam
Ingin mendekapnya dalam sunyi
Memasungnya hingga ia tak bisa pergi
Hingga sang malam pun menjadi milikku
Gelap berubah terang
Saat sang waktu memutar pagi
Menyebar warna keemasan yang memikat segala

Ah... begitu lelah diri berlari dan mengejar
Tapi hampa yang selalu di dapat
Tak ada sesuatu pun yang benar-benar dapat dimiliki
Tidak siang, juga bukan malam
Semua hanya bayang semata
Yang setia menemani namun tak pernah bisa teraih...

Tragedi

Mendung bergelayut di langit kota Solo. Rentetan awan tebal melukis angkasa hingga berwarna kelam kelabu. Matahari sore pun seakan tak punya nyali menerobos kepungan awan ini. Kilatan petir sesekali melecut bagaikan sabetan cambuk api yang siap melumat musuh yang berlari. Rintik hujan perlahan mulai menyiram…makin lama makin deras hingga menimbulkan bunyi gemuruh tatkala mencium bumi. Ah…mengapa begitu muram cuaca sore ini…bagaikan nyanyian lara yang dilantukan dalam sepi…
Kulirik jam tanganku, pukul 16.15 menit…jam kerja kantor telah usai lima menit lalu. Ehm…seingatku dulu aku paling malas mengenakan jam tangan karena kecerobohan dan kelalaianku seringkali membuatku kehilangan sejumlah aksesoris yang kupakai. Tiga kali aku kehilangan jam tangan karena lupa memakainya kembali sehabis berwudhu atau sekedar cuci tangan di toilet, cincin pemberian nenekku juga hilang. Ops…sebel banget rasanya. Tapi sejak setahun lalu, jam ini setia menemaniku. Jam tangan yang begitu istemewa…setiap melihatnya, saat itu pula dia seolah hadir di sisiku…begitu dekat seakan-akan tiada jarak yang memisahkan kami.
Tidak terasa setahun sudah dia pergi. Tiga bulan pertama begitu sering kami bertukar sms atau ngobrol lewat telephone. Bagi kami ini cukup melepaskan rasa kangen yang semakin membuncah di dada. Namun lambat laun, dia semakin jarang mengirimkan sms atau sekedar mengucapkan ‘hai’. Terakhir sms yang kuterima begitu singkat, “Kasih, meskipun nadiku telah berhenti berdetak, aku akan pegang teguh janjiku sebagaimana aku tetap setia bertafakur di atas sajadah cinta pemberianmu.”
Deg…entah kenapa rasa takut menjalari batinku. Bunyi sms yang begitu aneh seolah bukan dia yang menulis. Aku tahu ada yang salah di sana tapi jawaban tak kunjung kutemukan saat sms demi sms kukirim namun tak satu pun terbalas.
“Kasih, mau pulang sekarang nggak? Kebetulan aku mau ke rumah mertua di Klaten jadi kamu bisa nebeng, searah kan ma rumahmu? Lagian nungguin hujan reda juga percuma, hujan model begini nih pasti betah.”
“Eh…matur nuwun Mas. Terima kasih.” Ajakan Mas Bayu membuyarkan semua pikiran dari benakku. Buru-buru kuraih tas di meja dan bergegas mengikutinya.

Sesaat kemudian kami telah berada di mobil VW tua milik Mas Bayu. Meskipun butut tapi dia begitu menyayangi mobil ini. Pernah suatu ketika dia absen gak ikut perayaan hari jadi kantor kami gara-gara memperbaiki tuh mobil. Katanya mobil tua itu bagai isteri keduanya, mobil ini memiliki sejarah yang berkaitan dengan kehidupannya saat ini. Ah…ada-ada saja pikirku dalam hati. Tapi saat dia memberikan jam tangan itu padaku, aku jadi tahu perasaan Mas Bayu terhada VW tua itu. Yach…seperti halnya ikatan batinku dengan jam tangan ini. Sesuatu yang dianggap sepele oleh kebanyakan orang namun kenangan dan makna yang terkandung di dalam jam ini teramat istemewa dalam hidupku. Jam ini adalah bagian dari masa lalu, masa kini dan masa depan yang akan terus berdetak seiring waktu.
Perlahan mobil tua ini membelah jalan Slamet Riyadi menuju arah luar kota. Entah kenapa pikiran dan hatiku masih risau terus melayang mencari 1001 jawab yang tak kunjung ada. Kubiarkan saja Mas Bayu menyetir dan asyik dengan pikirannya sendiri.
“Untung kita gak hidup di Jakarta ya. Kalau hujan deres gini, wah bisa-bisa kita kejebak macet berjam-jam di jalan. Makanya aku gak betah hidup di sana, baru berjuang setahun di sana, aku dah memble. Orang pikir aku gampang nyerah kali. Tapi gimana yach, batin dan fisikku tak mau kompromi. Alhamdulillah keterima kerja di kantor kita sekarang ini jadi balik kampung lagi daku. Seandainya terus bertahan di Jakarta bisa-bisa aku mati muda kali ya…ha…ha…ha…”
Aku Cuma tersenyum mendengar celoteh Mas Bayu. Sudah puluhan kali dia menceritakan hal sama padaku. Kupikir tak apa-apa sekedar mendengarkan, toh itu tak merugikan daripada ngegosip sana-sini yang tak ada ujung pangkalnya seperti kebanyakan teman-teman wanita di kantor. Mungkin itu sebabnya aku paling dekat dengan Mas Bayu dibanding teman-teman yang lain. Lagi pula Mbak Wulan, isterinya, adalah sepupu aku yang terdekat sehingga membuat kelurga kami makin akrab.
“Kasih, gimana kabar Iman? Belum juga berkirim kabar? Tadi siang kamu nonton Metro gak? Ada berita heboh menyangkut tempat kerja suamimu?”
“Eng…gak tuh Mas? Tadi siang kebetulan Ratna ma Puji ngajak jalan ke Klewer. Emang ada apa Mas, berita apa?” Tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Terjadi kasus penganiayaan praja yunior oleh para seniornya hingga mengakibatkan kematian. Diduga kejadiannya kemarin karena saat sampai di rumah sakit, praja tersebut sudah tak bernyawa. Informasinya akan dilakukan autopsi untuk mengetahui penyebab kematiannya. Parahnya lagi diduga kuat ada keterlibatan sejumlah oknum pengajar untuk menutupi penyebab kematian tersebut. Dunia memang telah edan ya…pendidik dan senior yang seharusnya memberikan contoh keteladanan malah mempertontonkan kekerasan dan kesadisan di luar batas perikemanusiaan. Apa jadinya generasi muda kita jika dihasilkan oleh dunia pendidikan yang mengajarkan kekerasan dan penindasan terhadap yang lemah”
Ya Rabb, berita ini bagaikan anak panah yang melesat ke jantungku. Rasa cemas bercampur takut kembali menjamahku. Ya Alloh, selamatkan dia dari segala marabahaya dan bencana. Lindungi dia ya Alloh. Dalam cemas kulantunkan sepenggal doa buat dia yang selalu bersemayam di hatiku.
“Kasih, mukamu pucat banget. Aku tahu kamu pasti kuatir tapi percayalah pada Iman. Aku yakin dia bersih. Di dunia edan ini masih banyak terdapat mereka yang masih menjunjung tinggi nuraninya dan tidak gampang menyerah pada keadaan. Itulah mengapa dunia ini masih berputar normal. Coba kalau semua dah mati nuraninya, pasti kehancuran akan melanda dan kiamat segera datang”
“Aku takut Mas, firasatku selama ini benar kalau sesuatu pasti terjadi di sana. Tidak biasane Mas Iman absen berkirim kabar tapi ini sudah hampir 9 bulan tak ada berita.” Entah kenapa airmata mulai merembes tak terbendung. Buru-buru kuhapus sebelum ketahuan Mas Bayu.
“Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan Iman. Aku nanti akan coba telepon dia, barangkali kali ini bisa nyambung. Yang terpenting sekarang terus mencari kabar dan berdoa demi keselamatannya. Oh ya, mau turun di mana?”
Tidak terasa aku telah sampai di depan gang rumahku. Tepat terletak sebelum memasuki wilayah Tegalgondo, Klaten.
“Terima kasih Mas atas tumpangan dan dukungannya ya.”
“That’s what a friend for. Jangan lupa begitu ada kabar dari Iman langsung call aku ya. Minggu ini jangan lupa dating ke rumah ya, Wulan dah kangen tuh ma kamu. Katanya pengin ngobrol-ngobrol”
“Insyalloh aku akan datang Mas, tolong sampaikan salam buat Mbak Wulan.”
Kupandangi VW tua itu kembali meluncur bagaikan ular yang bergerak di tengah derasnya air.

***

Jam dinding berdentang 12 X. Entah kenapa sampai tengah malam gini mataku tak bisa terpejam. Rasa galau semakin memuncak melihat tayangan berita di berbagai saluran TV swasta yang memberitakan penganiayaan di kampus pencetak pegawai pamong praja di mana Mas Iman bekerja. Kekerasan yang telah terkuak oleh publik tahun 2003 lalu dengan tewasnya kematian salah satu praja yunior secara menggenaskan akibat perbuatan sejumlah praja senior kembali terulang lagi disaat publik hampir melupakan kejadian tersebut. Seiring berjalannya waktu semua mengira bahwa pembenahan struktural mampu menyentuh semua aspek-aspek yang diperlukan untuk mengubah budaya kekerasan yang telah melembaga, mulai dari penggantian nama sampai penggantian rektor. Saat salah satu TV swasta menyiarkan rekaman video yang memperlihatkan kebrutalan dan kesadisan para praja senior terhadap yuniornya, semua anak bangsa begitu geram dan marah. Ah…bagaimana mungkin pejabat berprestasi dihasilkan oleh lembaga yang penuh kekerasan seperti ini. Hukum rimba adalah satu-satunya yang berlaku. Yang kuat menindas yang lemah. Ya Alloh. Manusia-manusia berhati batukah mereka? Mengingatkan aku dengan film ‘300’ yang penuh dengan kekerasan dan adegan sadis. Seorang anak dididik dengan keras dan penuh kekejaman agar kelak menjadi pemimpin yang kuat dan tangguh, namun tetap disertai prinsip respect and honor. Nah, yang dipertontonkan kini hanyalah budaya kekerasan dan kekejaman yang mengabaikan prinsip respect and honor sehingga hasilnya hanyalah serigala-serigala kelaparan yang menerapkan hukum rimba. Mungkinkah pemimpin besar dihasilkan dari didikan yang penuh kekerasan dan tanpa sedikitpun welas asih.
“Mas yakin menerima tugas ini?” Tanyaku diselimuti perasaan gusar akan bahaya yang mengancam sehari sebelum keberangkatan Mas Iman ke Jakarta.
Mas Iman menatapku lekat penuh pengertian sambil mengusap rambutku. “Dik, percayalah setiap niatan yang baik akan menghasilkan hasil yang baik pula. Lagi pula pasca terkuaknya kasus kekerasan di sana sejumlah perombakan dan perbaikan telah dilakukan untuk menghapuskan budaya kekerasan itu. Bagi Mas, ini adalah kesempatan baik sebagai anak bangsa untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran demi kebaikan. Jangan sampai momentum seperti ini terlewatkan. Perombakan kultur tidak mungkin berjalan instan tapi perlu waktu yang lama serta kesungguhan. Harus tetap ada orang yang tanpa bosan memantau dan mengingatkan agar tidak tergelincir dua kali. Orang kita telah terbiasa cepat melupakan sampai pada tahap amnesia akut. Jika suatu masalah muncul ke permukaan, banyak reaksi dan komentar namun seiring waktu dan redanya pemberitaan media, kasus sama terulang lagi. Orang bilang kita itu terbiasa dengan budaya ‘anget-anget tahi ayam”
“Tapi, Kasih masih belum yakin Mas. Ibarat kasus korupsi yang telah melembaga, sulit sekali menghilangkan korupsi. Meskipun pemerintah telah berkomitmen memerangi korupsi tapi praktek di lapangan sulit dilaksanakan karena korupsi telah menyatu dengan urat nadi masyarakat kita. Lagian aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku di sini Mas. Itu artine nanti kita hidup saling berjauhan.” Sanggahku manja berharap Mas Iman mau mengurungkan niatnya memenuhi panggilan tugasnya. Ah…betapa egoisnya aku ini.
“Bilang aja kamu gak tahan berjauhan ma aku. Gitu aja kok repot.”
Kontan saja kucubit lengannya sambil pura-pura kesal dengan guyonan yang meniru salah satu mantan presiden negeri ini.
“Mas janji nanti akan sering menelepon dan berkirim kabar. Lagian seburuk apapun keadaan yang ada kita harus tetap optimis. Jika semua anak bangsa ini pesimis dan meragukan kemampuan dalam memerangi korupsi lantas siapa lagi yang akan berusaha. Optimisme masa depan lebih baik harus terus dipupuk. Jika tidak bisa berbuat banyak, lebih baik kan mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini juga. It mengapa Mas ingin berbuat yang terbaik sesuai dengan kapasitas aku sebagai seorang pendidik. Anggap saja ini jalan jihad yang musti kita tempuh. Lagipula aku ditugaskan di sana cuma 3 tahun untuk memantau perkembangan di sana. Insyalloh jika ikhlas menjalankkannya, waktu akan terasa pendek.”
Ah…Mas Iman memang pandai mengambil hatiku dengan kalimat-kalimat yang sulit kudebat apalagi jika sudah menyebutkan konsep-konsep Dai kesayanganku. Sebagai istri aku hanya berdoa mengiringi keberangkatannya. Saat melepasnya di Bandara Adi Sucipto, perasaanku campur aduk tak karuan. Di satu sisi aku mengkuatirkan keselamatannya, di sisi lain aku bangga dengan keteguhan hatinya.
“Maafkan aku Mas karena terlalu mencintaimu sehingga begitu sulit merelakan kepergianmu menjalankan tugas.” gumamku dalam hati.
Seakan tahu dengan kegetiran hatiku, Mas Iman menghampiriku dan mencium keningku kemudian memberikan jam tangan kesayangannya sambil berbisik.
“Percayalah, pada saat bunga-bunga melati di depan rumah bermekaran, aku akan kembali untuk menikmati harum melati bersamamu dan jam tangan ini jagalah baik-baik”
Ah, jam tangan kesayangan Mas Iman … suatu detak waktu yang pertama kali mempertemukan kami dan terus mengiringi kehidupan kami hingga detik ini.

Kekasih hatiku
Kaulah cahaya dan mata hatiku
Saat tangan ini tak kuasa lagi
Bergerak dan bekerja
Kau lantunkan doa agar aku tak pernah berhenti
Berjuang dan berkarya

Pujaan hatiku,
Saat prahara datang
Kutatap senyummu di langit biru
Hingga kekuatanku kembali lagi

Sandaran hatiku,
Dalam sujud aku berdoa
Dalam dzikir aku memohon
Dipertemukan kembali denganmu
Dalam rumah penuh cinta

Kudekap dan kuciumi puisi terakhir yang dikirim Mas Iman. Aku dapat merasakan kerinduan yang menyiksanya sebagaimana hari-hari kulalui tanpanya. Kuputuskan untuk mengambil air wudhu dan bersujud memanjatkan doa keselamatan bagi keluargaku, terutama bagi suamiku tercinta.
Dalam sujud, kalah semua kegalauan dan ketakutan. Kupasrahkan semua galau risau hatiku di hadapan Sang Hakim yang Maha Adil. Lantunan doa bagiakan air segar yang membasuh dahagaku yang membakar. Di atas sajadah ini, kutemukan ketenangan dan kedamaian.

***

Pukul 3.30 pagi. Kuhentikan tilawahku saat terdengar ketukan lirih di pintu depan. Siapakah pagi-pagi begini datang bertamu. Ah…apakah Ibu, tapi tidak mungkin sebab meskipun rumah ibuku tepat berada di sebelah rumahku, beliau tidak pernah datang sepagi ini kecuali waktu Bulan Ramadhan saat membangunku untuk menyiapkan sahur. Perlahan aku mendekati pintu dan mengintip dari balik tirai jendela. Sesosok tubuh berdiri di depan pintu tapi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Mulutku berkomat kamit membaca dzikir, berdoa suaya tidak satu pun orang jahat yang datang.
“Assalamu’alaikum …”. Sayup-sayup kundengar suara lelaki itu mengucakan salam.
Ya Rabbi, suara itu…aku begitu mengenal suara itu. Segera kubuka pintu dan subhanalloh….aku tidak menyangka.
“Aku ingin memenuhi janjiku padamu. Bunga-bunga melati di de depan rumah kita masih mengembang kan.”
Selesai mengucapkan kalimat itu, tubuh di depanku langsung ambruk ke dadaku. Mas Iman telah pulang. Mas Iman tidak lupa dengan janjinya.Tak kuasa menahan beban tubuhnya, kududukkan Mas Iman di beranda depan rumah sambil aku menahan tubuhnya. Kupeluk dia sangat erat. Kutatap lekat wajahnya…Ah, wajah yang sama meskipun sekarang tirus penuh memar dan membiru. Ya Alloh, kuusap wajahnya dengan air gerimis yang masih mengguyur. Badannya begitu dingin…tapi aku tak bisa meninggalkannya. Aku terus mendekap dan memelukknya sampai perlahan dia tersadar.
“Kasih…”
“Yah, Kasih di sini Mas. Kasih akan menjaga dan merawat Mas.”
“Aku tidak kalah Kasih….”
“Ya…Mas.” Airmata mulai membasahi pipiku. Aku tak kuasa lagi menahan rasa pedih saat melihat kondisi Mas Iman yang begitu rapuh, lemah dan tanpa daya. Perlahan mataku mulai menangkap ceceran kemerahan di beranda. Ya Alloh, darah…
“Mas, Kasih akan bawa Mas ke rumah sakit.”
Saat aku bergegas hendak meminta pertolongan, tangan Mas Iman menarik lenganku dan menciuminya.
“Kasih, Mas cuma ingin melihat mekar melati di pagi hari bersamamu sesuai dengan janjiku. Tak ada yang bisa merampas ini dari Mas. Temani aku ya. Dan lantunkan ayat-ayat cinta yang menyejukkan” pinta Mas Iman memelas. Suaranya begitu lemah namun penuh kelembutan.
Segera kudekap dan kupeluk dia. Lama sekali kami saling diam. Kulantunkan sejumlah doa dan dzikir. Kudengar nafasnya yang begitu lemah turun naik. Kuciumi wajah dan rambutnya sambil terus berdzikir. Saat adzan subuh terdengar, saat itu pula tak lagi kudengar tarikan nafas Mas Iman. Wajahnya begitu tenang dan seulas senyum tersungging seiring dengan melati yang bermekaran dan menebarkan semerbak wanginya. Ya Rabbi, pertemukan kami kelah dalam surgamu…

***

Langit siang masih berselimut mendung sehabis tersapu gerimis pagi. Awan kelabu berarak dalam barisan bergerak perlaham dalam sunyi. Hembusan angin mengalun lirih menemani. Gesekan rerumputan menyenandungkan kidung lara hingga menembus dinding hati. Sang matahari menundukkan wajahnya larut dalam hening sepi…
“Aku tidak kalah Kasih”. Kata-kata Mas Iman masih tergiang di telingaku. Kupandangi peristirahatan terakhir suamiku tercinta dengan segala kedukaan. Begitu singkat masa kebersamaan kami tapi begitu besar kenangan indah yang terjalin. Aku tidak kalah… ya, kebenaran akan terungkap. Tak ada seorang pun lepas dari hukuman atas perbuatan keji yang telah dilakukan. Konspirasi dan rekayasa sejumlah elit tidak akan langgeng selama masih ada orang yang mau mengorbankan jiwanya demi tegaknya kebenaran dan keadilan, selama masih ada orang yang berpegang teguh pada nuraninya, kejahatan pada suatu saat akan kalah.
Kutatap bungkusan kain di tanganku. Kugenggam erat seolah dia adalah nyawaku. Aku harus kuat karena perjuangan Mas Iman belum selesai. Perjuangan panjang ini baru dimulai dan aku harus sekuat tenaga meneruskan jalanan terjal yang telah dia rintis. Jalanan terjal yang penuh dengan ngarai dan perangkap maut. Ya, aku telah bertekad bulat untuk mengikuti jejak langkah suamiku tercinta, berjuang sampai titik darah penghabisan demi tegaknya keadilan. Perlahan kutinggalkan gundukan tanah merah yang basah dan bertabur bunga. Dan aku mulai menapaki jalan terjal itu …



Bekasi, 10 Mei 2007

Tuesday, May 22, 2007

Suara Misterius di Pagi Hari

Ssssrrrkkk…sssrrrkkk…sssrrrkkk bunyi itu terdengar lagi, makin lama makin sering. Suara misterius yang akhir-akhir ini sering membangunkanku di pagi-pagi buta saat dingin dan rasa kantuk masih menyergap. Suara itu selalu terdengar dari tempat yang sama yaitu dari arah depan rumah. Ugh menganggu sekali. Padahal aku kan masih pengin tidur. Kulirik jam dinding masih menunjukkan pukul 04.00. Ehm selalu jam yang sama pula. Lagi-lagi aku tak bisa tidur gara-gara bunyi itu. Aku harus cari tahu sebenarnya suara apa yang telah menganggu kenyamanan tidur pagiku.
Aku mulai berjingkat menuju pintu depan kemudian membukanya pelan-pelan hingga tidak menimbulkan suara. Bisa-bisa apapun yang membuat kegaduhan itu akan kabur kalau melihat penghuni rumah keluar. Dari balik gerbang depan mulai kuintip arah suara itu. Sssrrrttt…sssrrrkkk…sssrrrkk. Seorang anak perempuan sebayaku sedang menggais-ngais tempat sampah dengan tongkat besinya. Dia tampak serius memungguti kantong-kantong plastik dan kardus-kardus bekas yang berserakan serta memilah-milahnya dari sampah lainnya. Oh, jadi ini dia biang kegaduhan yang mengganggu itu. Ugh, sebel banget …emang tak bisa apa pekerjaan itu dilakukan siangan dikit saat aku dah bangun. Pasti dia anak kampung di sekitar komplek perumahan ini yang suka mengemis di siang hari. Jangan-jangan kalau penghuni rumah lengah dia juga mencuri di pagi hari begini saat semua masih terlelap. Harus kuberi pelajaran nih anak.
“Hai, siapa suruh kamu ngacak-acak sampah orang dan bikin gaduh pagi buta gini hingga menganggu kenyamanan tidur aku. Emang gak bisa dilakukan siangan apa? Atau kamu hendak mencuri ya jika ada kesempatan” bentakku kasar.
Anak itu kelihatan kaget setengah mati mendengar makianku dan melihatku berdiri berkacak pinggang. Huh, rasain! Emang enak dikagetin!
“E…e…eh, maaf aku tak bermaksud menimbulkan kegaduhan. Maaf jika suara-suara ini telah membangunkanmu. Aku hanyalah seorang pemulung bukan pencuri” Anak itu menjawab sambil tertunduk tanpa berani menatapku. Sesaat sepertinya aku melihatnya menitikkan air mata. Sejurus kemudian dia bergegas merapikan sampah-sampah yang berceceran dan selanjutnya pergi menghilang di balik tikungan gang depan rumah. Hem, leganya akhirnya tak bakal terganggu lagi suara-suara aneh di pagi hari yang menyebalkan. Sudah pasti anak itu gak bakal berani lagi datang. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku merasa menjadi orang jahat sekali karena menuduhnya sebagai pencuri. Ah…mungkin saja itu hanya airmata sandiwara. Aku harus menepis jauh perasaan bersalah ini. Mama pernah bercerita bahwa banyak terjadi kasus pencurian di komplek ini sehingga selalu menasehati aku dan Mbak Lila untuk selalu berhati-hati saat berada di rumah.
***
“Ma, panas banget siang ini. Haus banget, Ais mau dibikinin jus biar segar.” Teriakku lantang saat memasuki rumah pulang sekolah sambil menghempaskan badan di sofa. Jam segini biasanya Mama dah selesai memasak dan sedang mengerjakan tulisannya karena Mama suka sekali menulis dongeng anak-anak dan mengirimnya ke majalah.
“Ais, kamu lupa ya kewajiban kamu saat masuk rumah. Berapa kali Mama bilang sebelum masuk rumah kamu harus mengucapkan salam terlebih dahulu dan tidak boleh berteriak-teriak gitu.” Dengan kata lembut namun penuh wibawa kembali Mama menasihatiku. Ah…itulah sebabnya aku begitu sayang dengan Mama yang meskipun dalam keadaan marah sekali pun tetapi tidak pernah membentak atau memukul. Jika tingkahku sudah keterlaluan, Mama akan menghukumku tinggal di kamar selama sejam untuk merenungi perbuatanku dan setelah diijinkan keluar kamar Mama akan menanyakan apa yang ada dipikiranku setelah perenungan.
“Maaf Ma, Ais lupa karena tadi panas begitu menyengat di luar saat Ais bersepeda pulang dari sekolah. Ais juga sangat haus banget sampai rasanya mau pingsan. Coba deh Mama raba dahi Ais, pasti panas banget Ma.” Rajukan seperti ini selalu saja manjur buat meluluhkan hati Mama…hi…hi…hi…
“Ya udah kali ini Mama maafkan. Sekarang Ais ganti baju dulu saat Mama bikinkan jus kesukaan kamu. Oh ya Sayang, ada bingkisan di atas tempat tidurmu tuh. Mama yakin kamu pasti akan menyukainya”
Segera aku bergegas ke kamar berganti baju dan penasaran dengan bingkisan itu. Benar kata Mama, sebuah bungkusan mungil berbalut kertas kado berwarna pink tergeletak di atas kasur. Tak sabar kubuka dan…wow, boneka Teddy ku … tapi bagaimana mungkin? Seingatku boneka itu telah sobek di sana sini dan dekil karena dia telah setia menemaniku sejak usiaku 5 tahun. Dengan berat hati aku harus membuangnya karena kondisinya yang sudah jelek, bahkan semalaman aku menanggisinya. Tapi boneka ini meskipun sama persis tapi kelihatan bersih dan utuh, tidak ada sobekan sama sekali.
“Ma, terima kasih. Ais kira tak akan pernah bersua lagi dengan Teddy.” Segera kupeluk Mama karena perhatiannya yang begitu besar. Kemudian Mama mencium keningku dan membimbingku ke ruang tengah sambil membawa jus jambu biji kemerahan kesukaanku.
“sssrrppp, wow enak Ma. Maksih ya.”
“Ais, bukan Mama yang memberikan kado itu buat kamu sayang. Tadi pagi setelah kamu berangkat sekolah ada tamu istimewa yang mengunjungi Mama sambil membawa kado itu. Dia bilang itu sebagai permintaan maafnya pada kamu.”
“Ha…siapa Ma?” Tanyaku penasaran.
“Namanya Dini seumuran ma kamu sembilan tahun. Katanya tiap pagi kamu selalu terbangun karena kegaduhan yang dia timbulkan sehingga dia merasa bersalah. Saat dia menemukan boneka Teddymu di tempat sampah, dia mulai memperbaikinya dan mengganti kain yang telah sobek dengan kain baru dan dia sulam sendiri. Hasilnya mungkin tidak sebagus saat Ais membelinya pertama kali tapi dia berharap kamu tetap menyukainya. Itu sebagai tanda persahatannya dengan kamu sayang.”
Tiba-tiba aku teringat peristiwa pagi dua minggu lalu. Waktu itu dengan semena-mena telah menuduhnya sebagai pencuri. Tapi mengapa justeru dia tidak membenciku bahkan malah memberiku kado yang sangat aku suka. Aku ternyata orang yang jahat sekali. Tiba-tiba mataku terasa panas dan buliran-buliran airmata mulai mengalir deras.
“Ma, Ais jahat. Mengapa Dini malah baik padaku padahal Ais telah menuduhnya sebagai pencuri. Ais sangat malu dan merasa bersalah Ma.” Isakku penuh pinta kepada Mama yang sekaligus sahabat dekatku.
Dengan penuh pengertian Mama mengusap airmata di pipiku sembari mengusap-usap kepalaku penuh kasih.
“Sayang, syukurlah kamu telah menyadari kesalahanmu. Jangan pernah menilai orang dari luarnya. Orang miskin belum tentu lebih hina dari kita. Banyak orang miskin justeru memiliki harta melebihi orang-orang kaya yakni harta kejujuran dan kebaikan. Merekalah yang seharusnya kita tolong. Kamu tidak jahat sayang karena kamu mau mengakui kesalahanmu. Mama yakin kamu tidak akan melakukan kesalahan yang sama.”
“Tapi apakah Dini mau memaafkan Ais Ma.”
“Jika kamu sunguh-sungguh, Dini pasti memaafkanmu sayang.”
“Sungguh Ma?”
Sejurus kemudian Mama masuk ke dapur dan saat aku tengah kebingungan dengan sikap Mama, seorang anak perempuan muncul dari balik pintu dapur. Dia tersenyum manis sekali sambil menghampiriku…dia Dini…Dini yang telah memaafkanku dan sejak itu kami bersahabat karib. Persahabatan yang dimulai dari suara misterius di pagi hari.
***