Thursday, May 31, 2012

Mengemis: Sebuah Potret Kemiskinan atau Kemalasan?

"Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya." (HR. Bukhari)





Bola kristal itu pecah menjadi tetesan embun, yang meretas menjadi guratan tipis bening di permukaan wajah ovalnya tatkala menatap wajah lelaki tirus itu. Dengan telaten, lelaki paruh baya tersebut meracik bubur kacang ijo pesanan kami. Sembari menyeka butiran kristal bening, Kirani menghempaskan badannya di rerumputan pinggir jalan tempat kami memberhentikannya. Keringat yang tadi mengucur deras saat lari pagi pun per lahan menguap saat senyum tipis mengembang di wajahnya, dan mulailah ia bercakap dengan lelaki sahaja tersebut.


Mengalir lugaslah ceritanya tentang perjalanan hidupnya. Bagaimana selama hampir 15 tahun ia mengandalkan mata pencahariannya sebagai penjual bubur kacang ijo keliling. Selama dasawarsa itu, dengan penuh asa ia memikul ‘angkring’ bubur di kedua bahunya yang sekarang mulai melemah. Beban berat puluhan tahun itu merentakan bahunya sehingga nampak membongkok. Bau minyak tanah menyergap hidung, dan dari sudut ekor mata, kulihat kompor minyak mungil mengarat hitam untuk menjaga bubur tetap panas. Setumpuk mangkuk putih diletakkan diatas angkring sejajar dengan setoples santan di sudut atas. Semerbak harum kacang ijo dan ketan hitam sontak membaur dengan aroma minyak..ehm, membawa kenangan masa kecil saat Ibu memasak menggunakan kompor minyak, dan nenek di gunung dengan tungku tradisional :-).


Meskipun senyum menghias wajah senjanya saat bercerita, kami dapat merasakan manis getir perjuangannya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kampung ini saat menumpang hidup di rumah kakak tahun 2001, Bapak sahaja ini telah berulang kali menyusuri gang sempit tempat kami tinggal. “Ting…ting…ting..ting…” bunyi dentingan mangkuk yang dipukul sebagai pertanda kehadirannya setiap akhir pekan. Seringkali Bapak sahaja ini memakai kemeja cream yang warnanya telah memudar diseling dengan sejumlah lubang kecil. Sandal jepit yang dipakainya pun telah melebar dan menipis. Tidak heran, Kirani yang berhati lembut ini pun tersentuh rasa haru saat kami berpapasan pagi ini. Profesi sebagai tukang bubur keliling dijalaninya untuk menopang kehidupan istri tercinta bersama ketiga buah hatinya yang kini telah masuk SMP dan SMK. Dengan penghasilan kurang dari Rp. 50.000,-/hari, berjalan kaki puluhan kilo keluar masuk gang setiap sudat kampung dengan beban berkilo-kilo di pundaknya, tentu saja hasil yang didapat masih kurang untuk membiayai sekolah maupun menutup kebutuhan sehari-harinya. Untungnya, istrinya pandai mengatur keuangan sehingga meskipun kecil tapi kehidupan mereka masih dapat berjalan meskipun kadang tersenggal di tengah jalan. “Selama badan ini masih sanggup, pantang menyerah, Bu. Tuhan sudah menggariskan rizki kita, tergantung bagaimana kita menjemputnya.” Ucapnya penuh kebanggaan saat menutup kisahnya. Kulihat mata bening Kirani mulai mengabut kembali sebagai tanda kristal itu akan mengalir lagi. Ada rasa haru menyentuh qalbu saat mendengar lakon lelaki sahaja tersebut, sebuah perjuangan indah untuk menafkahi keluarga dan rasa malu untuk menadahkan tangan. Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar bubur pesanan kami, Bapak sahaja itu pun kembali melanjutnya perjalanan panjangnya menjemput rizki. Tentu saja, Kirani menyelipkan selembar uang lebih dan saat terlihat senyum penuh haru di wajah renta itu, senyum tulus temanku ini kembali terkulum indah.



“Benar-benar Bapak yang mengagumkan ya. Bandingkan dengan para pengemis yang badannya masih bugar tanpa cacat fisik apa pun yang sering kita jumpai di jalanan.” Ucapnya lirih sembari melontarkan pandangan ke arah lelaki sahaja yang mulai menghilang di tikungan jalan. “Lebih indah memberi pada mereka yang benar-benar membutuhkan dan mau kerja keras.” Selorohnya sambil menggamit lenganku menuju rumah kami yang kebetulan berdekatan. Melihat wajahnya yang anggun dan teduh, aku yakin ia sedang memikirkan rencana terkait Bapak sahaja tadi…ehm, memang ia sering mengejutkanku dengan hal-hal kecil yang indah…J. Terbayang minggu depan kembali ia merencanakan mencegat Bapak tadi…ehm, tentunya memberi sesuatu yang bisa meringankan bebannya…sepeda atau gerobak bubur J sehinggga pundaknya yang telah renta dapat lepas dari siksa J. “Lebih baik memberi kail sehingga orang dapat menggunakannya untuk mendapatkan ikan dan terlepas dari ketergantungan, daripada memberikan ikan yang membuatnya tetap tergantung pada kita.” Ucap Kirani pada suatu waktu.



Sepulang lari pagi, kuminta suami mengantarkan ke pasar tradisional di bawah fly over Depok yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Demi mencoba resep dendeng kolega kantor, aku tetap semangat dibonceng motor di tengah sorotan ganas sang matahari yang membakar J. Seperti biasa, suami menunggu di area parkir, sementara aku mulai berbelanja berdesakan dan berpeluh ria dengan para ibu yang memadati pasar. Terlihat sejumlah anak kecil yang menawarkan jasa angkat atau pun kantung kresek seharga Rp. 500,- / lembar. Ehm…sayangnya belanjaanku tidaklah terlalu banyak. Eit…namun saat ingat wajah melankolis temanku tadi pagi, akhirnya kubeli satu dengan menyelipkan uang lebih ke tangan mungil bocah tanggung berusia sekita 10 tahunan. Benar saja, binar wajahnya begitu indah sehingga menular juga ke qalbu…hehehehehe.



Nah, sebelum menyeberang rel, ada pengemis tua renta yang selalu duduk di sebelah bapak penjual ikan asin penghuni tetap gang sempit pinggiran rel. Ehm…ada dilema dalam hati antara memberi atau tidak. Namun, melihat kondisi fisiknya yang memang nampaknya tidak memungkinkan lagi untuk bekerja, kembali kusisihkan selembar uang di mangkuk lelaki renta ini. Tentu perasaan berbeda merambah sukma, bukan rasa indah namun rasa iba.



Kupercepat langkah kaki saat menyeberang rel, menuju tukang daging langganan. Saat sedang tawar menawar daging, seorang ibu paruh baya mencolek lenganku sembari menyorongkan mangkuk putihnya. Setiap kali pergi ke pasar ini, aku selalu berpapasan dengannya. Badannya masih terlihat segar dan kuat, langkah kakinya masih kokoh. Aku bayangkan dulu ibuku seusianya masih tetap bekerja keras, bangun tengah malam memulai aktivitas paginya dan pergi ke pasar berjualan. Berusaha sesopan mungkin, kuberikan sinyal bahwa aku tidak bisa memberinya uang lebih. Ibu itu pun berlalu tanpa sepatah kata pun. Sejurus kemudian kulihat Ibu tersebut tawar menawar dengan penjual ayam tidak jauh dari tempatku berdiri. Wah…ternyata Ibu tadi mampu membeli seeokor ayam utuh dengan recehan dua ribuan yang dikeluarkan dari dompet lusuhnya. Perasaan yang muncul kali ini? Ehm… Miris bercampur dongkol. Bagaimana tidak, lelaki sahaja yang kutemui pagi tadi harus memikul beban berat puluhan kilo dan menyusuri puluhan gang demi meraup uang 30 sampai 50 ribu. Sementara Ibu pengemis di pasar yang masih kuat ini hanya berbekal sebuah mangkok lusuh. Sungguh miris melihatnya.



Betapa sering kita dihadapkan dilema saat berhadapan dengan puluhan pengemis yang mengular di sepanjang jalan ke stasiun kereta, perempatan lampu merah, atau pun stasiun, bahkan di depan rumah ibadah. Ada rasa mengusik hati, apakah gambaran ini merupakan potret kemiskinan sebagian umat di negeri ini ataukah potret kemalasan. Meminta-minta bagi mereka yang masih sangguh untuk mencari nafkah tentunya merupakan ciri mentalitas pemalas, yang ingin mendapatkan uang tanpa mau bekerja keras dan hanya memanfaatkan kebaikan orang-orang. Mendapatkan uang dengan cara instan tentunya merupakan godaan, dan banyak yang jatuh dalam perangkap ini. Namun, kita lebih tersentuh dengan kegigihan dan perjuangan para ibu dan lelaki sahaja yang selalu percaya bahwa memberi nafkah kepada keluarga lewat kerja keras adalah lebih terpuji dibanding hanya dengan mandahkan tangan. Apa pun itu, satu hal yang pasti bahwa memberi itu lebih baik daripada meminta :-).







Hadits riwayat Hakim bin Hizam Radhiyallahu’anhu: Bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Sedekah yang paling utama atau sedekah yang paling baik adalah sedekah dari harta yang cukup. Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Mulailah dari orang yang engkau tanggung (nafkahnya).





No comments: