Thursday, January 31, 2008

A Cloudy February: Another Flooding at Jakarta

Torrential downpours that engraved Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) since last night finally taken its toll. Almost every activity in the capital put into a halt as water flooded the mainstreets and arteries; bringing traffic to a standstill.

This flooding seems become a habitual event in this capital. Some blamed the flooding on garbage-clogged rivers, rampant overdevelopment and the deforestation of hills south of the city, also the mismanagement of the city building landscape. Capitalism had crippled the capability of the officials as well as businessmen in expanding and maximing their profit by denouncing the environmental considerations.

The condition is worsened by the climate change that is triggered by global warming. Though many scientists and environmentalists had long revealed the danger of this phenomenon, all businesses stil run as usual. Capitalists get greedier...Natural resources are drawn without considering their preservation. More and more green areas are cutting down for this purpose; making this world hottier every decade...even every year. Former vice President Al Gore had clearly stated this devastating fact in his nobel prize winning documentary film, An Inconvenient truth.

Indonesia, is one of the many Asian countries that would greatly affected by this massive climate change. And today, we have seen the proof (although many proofs had been revealed in these past few decades). It's only a matter of time before Jakarta drown...

And we have to act WISELY before IT'S TOO LATE...

Tuesday, January 29, 2008

La Esprit de Corps

Akhir-akhir ini saat terjadi pemberitaan yang kurang proporsional terhadap korps, jadi teringat waktu acara 'gathering' di Yasmin, Pucak. Salah satu semangat yang diusung adalah menciptakan semangat kebersamaan dan semangat bangga terhadap lembaga atau esprit de corps. Tentu saja dalam hal ini bukan kebanggaan korps yang sempit yang menafikan kebenaran universal atau bahkan mengorbankan kepentingan orang banyak.

Saat itu pembina mengadakan suatu permainan di mana para pembina yang jumlahnya lebih dari 5 orang berusaha keras memadamkan sebuah lilin kecil yang kami bawa ramai-ramai. Lilin kecil ini ibarat nyala api lembaga sehingga kita harus mati-matian mempertahankan agar nyala api jangan sampai padam...nyala ini merupakan api semangat dan nyawa lembaga. Wah...seru banget dengan segala macam mereka menyerang kami dengan lemparan air dari berbagai arah...kami pun sekuat tenaga melindungi api semangat yang melambangkan akan kecintaan dan kebanggaan kami terhadap lembaga....

to be continued....

Ketika Kredibilitas Dipertaruhkan ...

source : http://www.mediaindo.co.id/editorial.asp?id=2008013000065005

Merusak Kredibilitas Lembaga Kepercayaan

SEORANG Gubernur Bank Indonesia menjadi tersangka? Tidak percaya, tetapi terjadi. Itulah yang menimpa Burhanuddin Abdullah, Gubernur BI sekarang. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan namanya bersama dua pejabat lain sebagai tersangka dalam kasus dana Rp100 miliar yang mengalir ke mana-mana.

Kalau mau dibilang skandal, inilah skandal ketiga yang terjadi di lingkungan Bank Indonesia. Pertama, penggelontoran bantuan likuiditas Bank Indonesia untuk menolong bank-bank dari kebangkrutan pada 1997-1998, yang ternyata banyak diselewengkan. Kedua, kasus yang menimpa Sjahril Sabirin, dan ketiga, yang menimpa Burhanuddin Abdullah sekarang ini.

Hukum, memang, harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Akan tetapi, pembuat undang-undang sadar betul bahwa ternyata dalam pelaksanaannya hukum harus memandang bulu, terutama pada lembaga-lembaga vital. Karena itu, terhadap lembaga-lembaga vital semacam Bank Indonesia yang merupakan bank sentral, undang-undang biasanya memberi mereka privilese. Kalau anggota DPR memiliki kekebalan bicara, kampus dilindungi oleh kebebasan mimbar, apakah para pejabat tinggi yang memimpin bank sentral tidak dilindungi oleh kekebalan tertentu?

Ini pertanyaan yang tidak mengada-ada. Bank sentral adalah pusat kepercayaan dunia maupun lokal terhadap otoritas dan wibawa moneter sebuah negara. Sangat riskan bila bank sentral sebuah negara kehilangan kepercayaan dunia dan publik. Karena itu, di negara-negara yang amat mengerti tentang kredibilitas yang harus dipertahankan oleh dan dari bank sentral, otoritas lembaga ini nyaris tidak tersentuh karena memiliki independensi yang luar biasa. Inilah lembaga yang hampir bahkan mustahil disentuh.

Undang-Undang Bank Indonesia ternyata hanya memberi kekebalan kecil pada pemangku otoritas bank sentral. Yaitu, bila mereka harus diperiksa karena kasus hukum, harus memperoleh izin dari presiden. Ini sama dengan bupati dan gubernur.

Seorang Gubernur Bank Indonesia, memang, bukan malaikat. Namun, negara dan penegak hukum memiliki kewenangan menempuh kebijaksanaan yang bijak dalam penegakan hukum berkaitan dengan kadar sensitivitas dan kegawatan yang diakibatkan oleh penegakan hukum yang tidak pandang bulu itu.

Misalnya, tidak terburu nafsu untuk mengumumkan Burhanuddin sebagai tersangka saat ini karena ancaman keguncangan di sektor moneter yang diakibatkan oleh kehancuran kepercayaan dunia. Toh dia akan mengakhiri masa jabatannya pada Mei. Mungkin setelah itu baru diumumkan statusnya sebagai tersangka.

Penegakan hukum bisa menimbulkan ketidakadilan yang lebih luas ketika menimbulkan keguncangan dan disorganisasi lembaga publik. Seorang wali kota dan wakil wali kota, yang sama-sama ditahan dalam kasus Medan, telah menimbulkan disfungsi organisasi pemerintahan yang merugikan rakyat banyak.

Seorang Gubernur Bank Indonesia yang dijadikan tersangka mengguncang kepercayaan dunia dan publik yang amat mengancam kestabilan moneter. Krisis moneter selalu menjadi petaka yang dahsyat. Karena itu, banyak negara yang bijak tidak mau mengalami krisis itu sehingga lebih baik mencegahnya.

Inilah saat ketika kita menyaksikan orang-orang yang dijadikan tersangka sangat produktif oleh lembaga penegak hukum. Tetapi itu semua hasil penelusuran terhadap masa lalu. Korupsi masa kini, sangat jarang.

Kalau negara dan penegak hukum Bank Indonesia bisa dikendalikan seorang gubernur yang berstatus tersangka, apakah kita hendak menyamakan BI dengan PSSI?

Kalau para pemimpin bisa dipenjara dengan gampang karena keyakinan rakyat bisa mengurus diri sendiri, apakah kita sudah sampai pada tahap kemajuan dan kedewasaan yang sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan lagi pemimpin?

Urgensi Menjaga Kredibilitas BI

Oleh Abdul Mongid

JAKARTA, Investor Daily

Pemberitaan sekitar aliran dari Bank Indonesia (BI) ke DPR baru-baru ini memberi kesan seolah-olah lembaga bank sentral kita telah dipenuhi praktik korupsi. Sebuah proses politisasi yang berlebihan dan sudah tidak proporsional.

Gonjang ganjing sekitar praktik korupsi yang menyeret nama BI berawal dari laporan Ketua Badan Pengawan Keuangan (BPK) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal keputusan Dewan Gubernur pada 2003 yang menyetujui pengeluaran dana Rp 31,5 miliar untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), amendemen UU Kepailitan dan amendemen UU Bank Sentral.

BI disebutkan juga mengeluarkan dana Rp 68,5 miliar untuk bantuan hukum terkait BLBI. Masih menjadi pertanyaan kita, apakah dana yang diberikan BI untuk membantu percepatan masalah tersebut termasuk tindak pidana korupsi?

Karena melibatkan nama institusi terhormat, yakni DPR dan BI, nuansa politik jelas menjadi sangat pekat dalam kasus ini. Berbagai jaringan televisi bahkan menseting wawancara khusus guna menjelaskan argumennya masing-masing. Tapi muaranya sebenarnya sudah cukup jelas, yakni semuanya ingin memberikan kesan bahwa korupsi di BI merupakan sesuatu yang riil, bukan isapan jempol belaka.

Sebuah proses politisasi yang berlebihan, tidak proporsional, dan sudah mengarah pada penghancuran kredibilitas dan reputasi kelembagaan bank sentral. Ingat bank sentral adalah lembaga yang hanya dapat berfungsi ketika reputasi dan kredibilitasnya diakui. Ketika kredibilitas bank sentral dan Dewan Gubernur “dihancurkan” dengan tuduhan praktik korupsi, maka sebenarnya kita juga menghancurkan salah satu pilar dari empat pilar kenegaraan modern.

Sadarkan kita bahwa ketika BI sudah tidak memiliki kredibilitas, itu berarti perekonomi kita bakal terombang-ambing?

Pengusutan Tertutup
Kita setuju kalau memang ada indikasi pelanggaran hukum, BI pun wajib diusut. Tetapi alangkah lebih bijak bila proses pengusutan atas lembaga ini dilakukan secara tertutup dan tidak perlu menciptakan sensasi. Apalagi kalau memperhatikan kasus ini secara seksama, tidak pernah ada indikasi bahwa yang korupsi adalah oknum BI. Artinya, kalau ditimbang dari bobot kesalahan, mereka yang meminta uang seharusnya lebih diberitakan daripada mereka yang memberi uang.

Kita jangan sok suci dalam melihat kasus aliran dana BI ke DPR. Ini praktik umum dan dilakukan oleh semua instansi di negeri ini. Justru ada sisi positif dari kasus ini, yakni seandainya dana ”heboh” tersebut tidak dikeluarkan BI, bisa jadi UU Kepailitan tetap akan menyamakan bank dengan perusahaan toko kelontong. Artinya, tiga orang kreditur saja sudah cukup untuk mempailitkan bank di Pengadilan Niaga.

Apakah tidak mengacaukan kalau industri perbankan kita mengalami nasib seperti kasus Asuransi Manulife yang dipailitkan oleh agen asuransi dari Malaysia?

Jangan lupa, konstribusi dana ke DPR sebenarnya merupakan tanggung jawab BI untuk menstabilkan dan mengamankan sistem perbankan. Ini seperti dana pemerintahan daerah untuk bantuan ke kepolisian saat pemilihan kepala daerah (pilkada).

Kita harus menyadari bahwa nilai reputasi dan kredibilitas bank sentral sangat mahal. Ketika kredibilitas ada, penryataan atau bahkan senyum seorang gubernur bank sentral bisa mengarahkan kurs menguat atau melemah. Mengapa Allan Greenspan yang kekuatan keuangannya kurang dari 1% dibandingkan dengan para dealer pengelola dana (fund management company) bisa memengaruhi kurs? Jawabannya, karena kredibilitas kelembagaan yang dimiliki.

Karena itu, kegagalan kita dalam menyikapi kasus aliran dana BI ke DPR bisa membawa implikasi yang lebih serius ketimbang nilai kerugian Rp 31 miliar. Pelarian modal (capital flight) besar-besaran mungkin saja bisa terjadi. Jika itu terjadi, tak terbayangkan dampak buruk bagi kestabilan ekonomi nasional.

Harus Proporsional

Kita harus proposional dalam melihat kasus dana BI ke DPR. Kasus ini jangan sampai membuat kita melupakan prestasi dan konstribusi BI selama ini. Kita harus mengakui BI telah berbuat banyak untuk bangsa ini terutama setelah krisis ekonomi 1997/1998. Penataan sistem perbankan yang makin modern, pruden dan sadar manajemen resiko merupakan konstribusi besar BI dalam membangun system perbankan nasional. Demikian juga dengan sistem lalu lintas pembayaran yang makin modern, efisien, aman dan cepat.

Pencapaian stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan juga merupakan konstribusi nyata BI. Bahkan terciptanya forum stabilitas sistem keuangan yang anggotanya BI dan penerintah merupakan kemajuan berarti dalam pencegahan krisis keuangan. Saat ini walaupun BI merupakan lembaga negara yang independen, koordinasi dengan pemerintah juga sangat baik. Ini semua merupakan prestasi yang seharusnya menjadi kredit poin BI.

Pertanyaannya, akankah prestasi dan nama baik bank sentral kita dihancurkan dengan perkara senilai Rp 31 miliar? Apakah mungkin proses penggalian informasi oleh penegak hukum (KPK) kepada gubernur BI dilakukan di kantor BI?

Semua pasti setuju bahwa proses hukum harus terus berjalan. Tapi harus diingat, proses hukum harus mengurangi dampak buruk berupa kehancuran kredibilitas bank sentral. Relakah jika reputasi bank sentral kita back to zero seperti saat 1997/1998?

Sekarang saatnya semua pihak berkonstribusi menjaga agar kredibiltas bank sentral kita tidak hancur baik di dalam maupun di luar negeri. Kredibilitas BI sangat penting, bukan untuk Dewan Gubernur dan pegawai BI tetapi bagi pemerintah, masyarakat dan perekonomian nasional. (*)

*) Penulis adalah pengajar dan Direktur PPM STIE Perbanas Surabaya

Everyday's Struggle

If you think your problem is the biggest one or you are the most miserable person on earth...then think again. There are many people, thousands of them, millions of them are living in hell. They don't enjoy such comfort like us...they don't feel as secure as us...they could not walk or sleep freely without any worries that within instant life slips away.

This morning just looked at a video from a friend about the palestinians life during the blockage that is imposed by the israelis. It's heartbreaking to those innocent children crowded in the refugees camp or in the shattered houses. A six or seven year old girl questioned on how people, israelis, let her live that way. Her house, dolls, clothes were burnt. She was always live in fear even in the sleep in case a missile struck her home. The smell of gas were everywhere. A young as she was, she already tasted the bitterness of hatred and war. She grown up before her time...an anger flickered in her eyes ...so with the eyes of other Palestinians children that were forced to live in such condition...life that was full of fear, insecure and lack of food. They were so young but they have learnt the bitterness of war...a world that had turned its back on their fate. Their only hope lied within themselves...a struggle with any means to free themselves...

Total blockage hampered the live in Gaza strip and around. Shortage of food, energy, electricity, other basic neccessities threatened their life. Though many aids had been directed to the Palestinians, but they could not cross the border as it was highly guarded by the Israelis. The massive attack was still carried. And where is the world power? As usual, when it comes to Palestinian affair, they shut their eyes and heart. And the it's a daily struggle for the Palestinians.

Sunday, January 27, 2008

Otomatis Romantis

Sabtu kemarin, giliran nemenin aku nemenin suami nonton film. Kebetulan doi lagi pengin banget nonton film Otomatis Romantis, yang menurut cerita temen-temennya yang sudah nonton 'top banget' alias bikin perut mulas karena ketawa. Meski, agak-agak ragu (penginnya noton film Barat...tapi bukannya gak cinta produk dalam negeri, tapi karena paling ogah nonton film dalam negeri yang berbau cinta dan horor... karena yach begitulah, standar banget ceritanya, bahkan kesannya kebarat-baratan....), akhirnya ikutan aja.

Film komedi romantis ini bertabur nama-nama terkenal seperti Tora Sudiro, Marsha Timothy, Tukul Arwana, Wulan Guritno, Dwi Sasono, Tarzan, dan Chintami Atmanegara. Naskahnya ditulis Monty Tiwa. Filmnya sendiri bercerita tentang hubungan kisah cinta antara seorang staff administrasi, Bambang (Tora)-wong Yogya yang selalu 'ndeso' dan 'lugu' dengan pemimpin redaksi tempat Bambang bekerja, Nadia (Marsha)-gadis modern independen tapi masih terkekang dengan adat jawa yang dipaksakan oleh orang tuanya.

Bambang yang lugu dan kocak terperangkap dengan kakaknya, Tresno, yang selalu menuntut agar adiknya ini tidak melupakan kewajibannya kepada keluarga alias membalas budi Tresno yang telah menyekolahkan dan menghidupinya meskipun seringkali harus mengorbankan kewajiban terhadap dirinya sendiri. Sementara Nadia selalu dituntut untuk segera menikah karena usianya udah mau kepala tiga sebagai salah satu bentuk kewajiban anak terhadap orang tuanya.

Meskipun terlihat lugu dan 'katrok', Bambang punya cita-cita kembali menjadi reporter di tempat dia bekerja sekarang. Mulailah terjalin kontak antara Bambang dan Nadia. Tentu saja di awal terjadi sejumlah kejadian lucu yang menggelitik karena benturan perbedaan sosial tersebut. Simak saja ucapan Bambang ketika mencoba memberikan opini bahwa kebanyakan artikel pada majalah wanita yang digawangi Bu Nadia itu tidak aktual alias tidak bisa dipratekkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Selanjutnya Bambang memberikan contoh artikel tulisan berjudul "Pemberdayaan Wanita dalam Pilkada"...ndak nyambung tho....Bukannya diberi kesempatan menjadi reporter majalah tersebut, Bambang malah ketiban rejeki dijadikan model dadakan. Dialog antara Bambang dan Nadia boleh jadi menjadi salah satu sentilan sosial yang cukup menarik tentang bagaimana latahnya majalah-majalah indonesia khususnya majalah wanita soal artikel dan tips yang cuma hasil translate atau nukilan dari majalah barat. Tentu saja gak pas diterapkan bagi masyarakat Indonesia yang katanya harus menganut adat ketimuran.

Sentilan sosial lain yang terekam adalah soal pernikahan yang identik dengan kebahagian. Wanita harus cepat-cepat menikah biar gak jadi 'perawan tua' dan 'pamali' kalau sampai dilangkahi adik. Budaya jawa yang sangat kental dihadirkan lewat tokoh ayah dan ibu Nadia yang menghendaki puterinya cepat menikah. Ternyata kehidupan rumah tangga putri sulung mereka jauh dari bahagia dan terancam bercerai. Belum lagi adik Nadia yang telah punya pacar tapi cara berpacarannya bikin jengah kakaknya.

Namun, semua dialog dan kritikan tadi dikemas dalam balutan humor yang terkadang agak sarkastik alias kasar. Dan memang benar seisi bioskop bisa 'ngakak' bareng waktu melihat kekocakan Tora, Tukul, dan Tarzan...kebiasaan orang kita kali yach untuk mentertawai hal-hal semacam itu...

Ehm...satu adegan yang bagi aku 'ill feel' banget saat Nadia mencium Bambang karena ngikutin tips praktis majalah wanita untuk mendapatkan cowok idaman. Wuih...maunya mungkin niruin cara ciuman orang bule di film-film tapi terkesan kaku dan so weird banget. Mungkin itu akibatnya kalau ngikutin tips tapi gak perhatiin kondisi sosio yach

Meskipun tema dan cerita cukup menarik, sayang banget kualitas gambarnya kurang oke alias 'ancur' padahal film baru. Kualitas gambar kalah jauh dengan film-film luar. Btw, menurut aku soal kualitas cerita dan gambar masih jauh dibanding dengan Nagabonar Jadi 2. But it's lots better compared to any love and horrorr movies that dominated our national films.

Agak berbangga sekarang film nasional telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dari 7 theatre yang ada, 3 diantaranya memutar film nasional, yach meskipun kebanyakan film cinta dan horor. Semoga ke depan film nasional bisa meningkatkan mutu dan kualitas cerita dengan tema yang variatif. Malu oi selalu disebut sebagai REPUBLIK HANTU....

Selamat Jalan Jendral ...

Innalillahiwainna illahi raji'un ... the smiling general had passed away... a man of controversy...loved by many ...hated by many...

After weeks of struggle, The smiling general had released his last breath yesterday. His life that had been relied entirely on many supporting life instruments could no longer tolerate his worsening condition. No matter how hard the attempts to save his life, NO ONE, not even expensive medical treatment and doctors, could STOP God's will.

Many suffered great loss with his death. It's seen in the thousands of people flooded in his residence. For 32 years of ruling, he had carved many achievements. He was entitled as The Father of Development. There's not much riots or chaos during his ruling as he governed with 'iron' fist. Many enjoyed a high extent of security and welfare. On the other hand, many also suffered great agonies by his ruling. A protest would be silenced. Prostesters would be captured and tortured with no legal prosecution. Families tasted the fear and loss of their relatives. Yes, he is a man of controversy.

As human, he should be forgiven for all his deeds because despite his dictatorship, he had achieved much. "Our only fault is to let him rule far too long," said one of his former minister.

Guruh Soekarnoputra said that the people should forgive him but let the legal prosecution kept carried out. Our country is based on law so let's us respect it. I personally agree with this statement. Afterall, he had led this country for 32 years and carved many achievements. However, the law must be enacted...just like the case of Marcos of Philippine. Upon his death, the legal process was carried on and millions dollars could finnaly returned to the people.

Farewell general, may he rest in peace...

Thursday, January 24, 2008

Maafmu

atas semua duri yang terlontar

atas perih luka dari sembilu yang terlempar

kau masih tersenyum

membasuh bilur yang terlanjur tergalur

masih dengan seulas senyum

meski maaf belum terucap

lewat bibir yang berduri

kau telah semaikan damai

lewat kesabaran yang terus berderap

hati tersentuh

hingga amarah meluruh

dalam sesal di setiap pembuluh

atas tajamnya kata yang terlepas

hingga bening air mengalir deras

mengiringi penyesalan yang mengguruh