Thursday, June 7, 2012

KRL Oh KRL ... Tetap Dicinta Meskipun Sering Dicela

Saat terbangun pagi ini, bumi masih berselimut gelap ditingkahi gerimis yang mengalir tipis. Nampaknya, sang hujan yang telah mengguyur sejak semalam masih belum puas menumpahkan rindunya yang mengiris. Udara dingin menyergap tulang saat air wudhu menyentuh kulit. Hujan pagi yang identik dengan macet di Jakarta sontak menyegerakanku melipat selimut dan bergegas cepat. Dalam hitungan menit pun, suami tercinta yang gesit, menerjang kabut pagi dan membelah jalan yang mulai dipadati kendaraan pribadi, motor, atau pun angkot. Untungnya, gerimis telah menyingkir pergi seakan malu menatap rona mentari pagi yang mulai tersenyum manis. Alhamdulillah, sesampainya di stasiun, Komuter Line Depok-Jakarta keberangkatan 5.57 belum datang sehingga ada harapan dapat tempat duduk meskipun harus berebut. Maklum, sifat KRL yang moody alias suka-sukanya, seringkali memaksaku berdiri satu jam atau lebih jika terjadi gangguan atau ada KRL ngadat. Saat kereta merapat ke peron, dengan sigap aku melompat, dan berlomba dengan puluhan roker (sebutan keren ROmbongan KEReta) saling memepet dan menyerempet. Tidak sia-sia berangkat lebih awal, saat aku berhasil duduk manis di sebelah Bapak tua yang bersepatu karet.




Seperti biasa kereta penuh sesak, dan aku menenggelamkan diri dalam pusaran cerita novel terbitan terbaru novelis kesayangan. Kereta mulai mendengus menuju Jakarta, derikan roda dan rel makin keras karena penumpangnya penuh sesak, berjejal, dan berhimpit-himpitan. Di setiap stasiun, naga besi ini pun kembali berhenti dan membius para roker dengan hisapan liak liuknya yang menjanjikan perjalanan bebas hambatan tercepat. Selang 20 menit, udara di dalam gerbong semakin pengap dan lengket. Saat itulah, aku baru tersadar bahwa selepas stasiun Lenteng Agung, naga besi ini mulai memelankan liukannya seakan tersedak besi panas. AC pun mati sehingga mengubah gerbong penuh sesak ini menjadi sauna gratis. Sebagian roker mulai gelisah dan dengan kipas seadanya mulai berusaha menghalau hawa panas yang mengganas. Pria perlente yang dari awal berdiri tepat di depanku mulai sibuk menelpon kantornya sambil mendengus kesal karena terpaksa datang terlambat. Sebagian lain mulai sibuk mencari informasi gerangan apakah yang terjadi lewat smart phone, BBM, atau pun sms. Seperti biasa, petugas PT KAI yang mengendalikan naga besi ini seakan menutup mata, telinga, dan mulut. Para roker seakan dibiarkan terlantar tanpa informasi apa pun, apalagi ungkapan sepatah kata maaf. Walhasil, banyak gosip berhembus kencang, mulai dari adanya gangguan listrik di Stasiun Tanjung Barat, gangguan sinyal kereta karena hujan, sampai kereta ekonomi yang mogok sebelum sempat merapat.


Sejam berlalu sudah. Naga besi masih anteng dalam dengkuran sementara para roker mulai dicekam rasa cemas. Mentari pagi mulai meradang galak saata sinarnya menyengat kulit yang terpapar. Bau gerbong yang awalnya masih semerbak wangi karena aroma deodorant, parfum, dan cologne yang masih fresh, kini berubah asem dan apek bercampur dengan keringat yang membanjir deras. Bau campur aduk ini semakin menambah pengap hawa sehingga memaksa penumpang membuka paksa sejumlah jendela. Ah…lega rasanya saat udara luar yang relatif masih segar menyergap masuk. Sejurus kemudian, naga besi menggeliat. Sontak penumpang bersorak girang, dan hilang rasa was-was. Namun, kekecewaan kembali menghantam pedas saat sang naga besi kembali membisu, merampas harapan yang sempat tergores.


Jarum jam menunjukkan pukul 08.00. Dua jam sudah, para roker tersandera dalam perut sang naga besi yang semakin memanas. Menunggu tanpa kepastian dan kejelasan memang merupakan suatu bentuk siksaan yang sadis. Apalagi, dengan kondisi udara yang pengap dan berdiri berjam-jam tanpa bisa bergerak bebas. Perut pun mulai protes karena belum terisi dari pagi. Kondisi yang memprihatinkan ini memaksa sebagian penumpang berpindah haluan. Ada yang ‘mutung’ alias patah arang dan kembali pulang. Ada yang masih bersemangat baja, dan mencoba mencari alternatif angkutan lain menuju kantor. Ada pula yang masih bertahan seperti saya ditemani imajinasi novel sembari menunggu naga besi terbangun. Detik, menit, dan jam pun berlalu. Gerbong kereta pun mulai melenggang sepi karena ditinggalkan para roker. Saat jam menunjuk angka 08.35, sang naga besi pun akhirnya tersentak bangun dan mulai melaju kencang. Decit bunyi roda besi beradu dengan rel ditingkahi klakson masinis yang nyaring menggema. “Tut..tut..tut..tut,” gelegar sang naga besi hingga akhirnya berhasil berlabuh di Stasiun Tanjung Barat, dan Pasar Minggu. Bukannya menipis, jumlah penumpang bahkan semakin membludak melebihi kapasitas hingga meluber sampai ke atap. Hawa semakin panas, peluh membanjir deras, dan kaki semakin menegang keras. Dari sudut ekor mataku, sempat kulihat seorang ibu muda jatuh pingsan sesampai di stasiun Duren Kalibata. Sebagian lain mencoba bertahan meskipun penat dan pegel menghantam dengan beringas. Meskipun seluruh badannya ditunggagi para roker yang emosinya mengganas, sang naga besi masih mampu melenggok anggun dengan kecepatan nan tinggi.


Sesampai Stasiun Sudirman, para roker langsung merangsek keluar. Peluh yang membanjir terseka sepoi angin pagi yang masih berbaik hati menggalir pelan. Perjuangan masih belum berhenti sampai di sini karena para roker harus bergegas berganti moda transportasi lain menuju tempat kerja. Sebagian masih sibuk mencari surat keterangan ke petugas stasiun yang menegaskan adanya keterlambatan kereta untuk diserahkan ke atasan sebagai pendukung absensi yang meradang merah. Sebagian lain melesat bak anak panah mengejar metromini atau kopaja yang lewat. Siapa sangka bangun pagi buta dan berangkal lebih awal justeru berakhir dengan ‘datang terlambat.’ PT KAI seperti biasa selalu memutar lagu lama alias ‘ngeles abis’ atas keluhan buruknya pelayanan dan jadwal yang selalu molor. Para roker sebagai konsumen yang dirugikan lagi-lagi harus menelan pil pahit bahwa keluhan klasik akan selamanya dilayangkan tanpa hasil meskipun telah puluhan tahun membuktikan kesetian dan keloyalan mereka sebagai roker sejati. Ibaratnya para roker ini sudah terlanjur cinta mati dengan sang pujaan hati, si naga besi, namun sang jantung hati ‘ogah-ogahan’ karena merasa menang di atas angin. Para roker cuma bisa berucap “aku masih cinta” meskipun tanpa kepastian kapan pelayanan PT KAI akan meningkat .

No comments: