Thursday, May 24, 2007

Surti dan Merpati Putih

Surti menatap wajah barunya di cermin dalam bisu. Sepasang lengkung alisnya serupa sabit kembar di tengah langit kelabu malam hari. Bedak tebal melukis wajah bulat telor seperti adonan tepung saat membuat kue donat. Sepasang mata dengan bola mata yang menghitam sehitam malam tanpa cahaya turun naik menahan beban bulu mata palsu yang bergelayut. Bibirnya memerah bagaikan merahnya api dalam sekam. Surti terus menatap bayangan kembarannya di cermin tua yang tergantung di kamar sempit yang pengap ini. Hatinya menciut saat dia menatap wajah itu. Wajah berpoles yang manja penuh make up tebal seperti wajah perempuan-perempuan malam yang kelayapan di gelapnya malam.
“Surti, sudah siap belum. Jangan kau lama-lama mengagumi wajah barumu itu di cermin. Cermin itu sumber penipuan yang akan membinasakanmu saat kau lengah. Cepatlah bergegas atau pelanggan pertamamu akan mencari sambaran lain yang lebih molek dari kau karena tidak sabar.” Teriakan wanita yang biasa dipangil Mami itu terdengar tidak sabar sambil menggedor pintu kamar reyot itu tanpa ampun.
Tersentak dari lamunan, saat suara Mami mengelegar membelah malam sampai-sampai cermin di hadapannya ikutan bergetar ketakutan hingga sirna wajah kembarannya itu. Dingin malam begitu menggigit dan mengeretas tulang-belulang yang membalut tubuh rampingnya yang memang kurang makan dan bukan karena sengaja merampingkan badan. Apalagi dengan balutan baju yang serba kekurangan bahan semakin menambah duri-duri dingin malam yang menusuk. Sebagian dadanya menyembul ke permukaan bagaikan dua gunung kembar yang siap meletus dan rok mininya hamper tidak bisa menyembunyikan dua paha ramping mulus. Bagian-bagian tubuh yang dulunya rapat dia tutupi kini semua terbuka tanpa kain penutup. Surti merasa terasing dengan dirinya tapi pilihan hidup baginya amatlah sedikit.
Dari balik jendela kamar reot ini terlihat merpati putih itu bertengger di dahan pohon. Matanya bersinar terang kontras dengan warna malam yang pekat. Merpati putih itu memandangnya tajam hingga serasa memakunya tanpa ampun di kursi di mana ia duduk. Mengapa dia selalu mengikuti ke manapun aku berada. Setiap saat dia akan selalu hadir bertengger di dahan pohon atau pun di daun jendela sambil terus memandangku. Kadang kala dia mengeluarkan suara aneh yang tidak aku mengerti tapi bisa kupahami. Dia selalu hadir di hari-hariku saat semua orang tidak lagi memperdulikanku entah itu siang entah itu malam. Terkadang aku bertanya apakah dia tiadak punya rumah, keluarga, atau saudara seperti aku ini. Tapi aku masih punya keluarga setidaknya satu-satunya permata yang kumiliki di dunia ini.
“Mak, kapan Bapak pulang? Sholeh pengin punya Bapak seperti teman-teman Sholeh yang lain di sekolah. Sholeh ingin bermain sepak bola dan memancing dengan Bapak. Sholeh tidak mau lagi dipanggil sebagai anak haram karena Sholeh punya Mak yang baik.”
Setiap kali mendengar pertanyaan soal lelaki yang menjadi ayah biologis anak semata wayangnya ini, kebingungan dan ketakutan menyerbu setiap penjuru hati Surti. Di mana dia mencari segala jawaban yang telah dia sembunyikan rapat-rapat dalam sebuah peti. Kemudian dia menguncinya dengan gembok baja kuat dan tidak seorangpun mampu membukanya. Peti dan kunci itu telah dia buang jauh-jauh di kedalaman laut hitam yang terdalam. Ya, laut hitam terdalam yang telah mengelilingi kehidupannya.
“Mak, Sholeh sangat sayang ma Mak dan tidak ingin melihat Mak bersedih.”
Sholeh, anak semata wayang Surti yang baru berusia 7 tahun merupakan satu-satunya yang memahami perasaannya meskipun tidak mengerti. Surti tidak pernah lagi menangis sejak kebahagian hidupnya terengut dari kehidupannya. Dia berjanji pada dirinya bahwa tidak akan ada lagi airmata tertumpah. Mungkin pula karena sudah tidak ada lagi airmata dalam matanya yang telah mengering hingga Surti tidak bisa menaggis lagi. Tapi Sholeh, anak semata wayangnya, selalu memahami saat hatinya sedang tercabik pilu. Pemahaman dalam keterbatasan usianya membuatnya tidak lagi bertanya soal Bapaknya setelah setiap tanya dijawab dengan bisu dan pilu

Braag… terdengar derit pintu bercericit saat dibuka secara paksa. Pintu usang yang telah lapuk dimakan usia itupun terkapar tanpa daya saat Mami menerobos masuk diiringi 2 tubuh lelaki kasar yang mengiringinya.
“Kamu tuli ya? Dengar tidak kau aku memanggil-manggil dari tadi tanpa sahutan, ha!”
Dengan kasar wanita yang biasa dipanggil Mami itu menarik rambut hitam legam Surti sambil terus bersumpah serapah. Surti pasrah tanpa perlawanan sedikitpun ibarat seekor rusa yang digelontorkan ke tengah arena gladiator yang dipenuhi singa buas. Baginya perlawanan dengan kehidupan telah menghabiskan seluruh energi yang dimilikinya. Semua telah mengering tanpa sisa. Singa-singa itu terus mengerubuti dan menggiringnya melewati lorong-lorong gelap rumah biadab yang dipenuhi kamar-kamar reot nan pengap. Bau wewangian bercampur alcohol dan asap rokok menebarkan racun ke seluruh penjuru rumah. Racun yang paling mematikan tersembunyi di balik kamar-kamar gelap sepanjang lorong ini saat transaksi terkutuk merajai. Cakar singa betina garang itu baru berhenti mencengkeram saat mereka tiba di depan kamar bernomor 1301. Segera kedua serigala yang dengan setia mengikuti tadi segera membuka kamar dan seketika Surti didorong paksa ke ruang siksa yang mengerikan. Segera pintu tertutp kembali dan suara anak kunci terdengar.
Tubuh Surti menggigil hebat dalam takut. Kedua tangannya berusaha menutupi dadanya yang menjulang sementara kedua matanya perlahan belajar melihat dalam remang kamar yang temaram. Surti bergidik dalam ngeri teramat sangat. Sesuatu mengelitik di ujung jiwanya yang terdalam. Peti yang menyimpan jawab atas rahasia terdalam itu seakan menemukan anak kunci untuk membukanya. Satu persatu pintu-pintu peti itu terkuak kembali.
Ya…kejadian 8 tahun lalu seakan berkelabat dalam ingatannya. Saat Surti baru berusia 15 tahun dan masih duduk di bangku SMP. Kejadian yang telah merenggut semua kebahagian yang pernah diimpikan gadis seusianya. Saat seseorang yang paling dia segani dan paling dia percaya tiba-tiba berubah menjadi serigala garang tidak kenal ampun. Bayangan itu mulai membentuk gambaran nyata dihadapannya…begitu jelas.
Saat itu lelaki yang merupakan sahabat karib Ayah Surti sekaligus tokoh di desa mereka tiba-tiba menyeretnya ke dalam salah satu kamar di rumahnya. Ya, saat itu dia berjanji akan mengusahakan beasiswa sehingga Surti bisa melanjutnya sekolahnya. Apalagi sebagai kepala sekolah dia punya banyak kenalan yang bisa memuluskan jalannya. Saat dia menyuruh Surti datang ke rumahnya dengan alasan melengkapi persyaratan administrasi merupakan saat mala petaka itu terjadi.
Teriakan dan rintihan Surti bagaikan angin lalu saat tubuh lelaki setengah baya itu mulai melumat tubuh tak berdosa itu. Tanggisan dan kesakitan gadis itu malah membuatnya makin senang melampiaskan nafsu setannya. Hingga akhirnya gadis muda itu tidak lagi melawan. Gadis itu melewati semua kesakitan dan deritanya dalam bisu sebagaimana saat semua penduduk di desanya menghinakannya saat perutnya mulai membesar. Tamparan dan tendangan ayahnya ribuan kali mendarat di badannya karena aib yang kini dibawanya hingga ibunya tidak lepas menerima tendangan dan pukulan saat melindungi tubuh putrid semata wayangnya. Tidak ada yang percaya dengan cerita gadis berusia 15 tahun yang menuduh tokoh paling disegani yang merupakan calon kuat kepala desa sebagai pelaku tindakan amoral. Penduduk desa dan tokoh agama di desa ini menuduh itu hanyalah rekayasa gadis dari keluarga miskin untuk mendapatkan uang guna menyambung hidupnya dengan mencemarkan nama tokoh terpenting di desa ini. Bahkan laporan ke polisi pun kandas di tengah jalan saat mereka tidak memiliki uang untuk melaporkan kasus perkosaan tersebut.
Penderitaan belum berakhir saat ayah kandungnya mengusir Surti dari rumah karena dianggap sebagai pembawa aib. Meskipun ibunya menanggis pilu namun tidak kuasa meluruhkan kekerasan hati sang ayah. Dengan hati hancur, gadis desa berusia 15 tahun itu meninggalkan desa satu-satunya yang pernah dia kenal. Saat itu pula merpati putih itu terbang mengiringi dalam bisu dan dalam lara.
“Bu Surti, anak Ibu tidak bisa dibawa pulang sebelum Ibu melunasi biaya pengobatan dan biaya administrasi sebesar 500 ribu rupiah. Jika belum dilunasi anak Ibu terpaksa akan kami tahan di sini.”
Surti, ibu muda berusia 23 tahun ini tidak mengerti mengapa orang semiskin dia masih harus disuruh membayar biaya rumah sakit yang begitu besar. Dengan penghasilan kurang dari 30 ribu per hari sebagai penjual nasi uduk keliling mana mungkin dia punya uang sebesar itu. Tapi Surti tidak mungkin membiarkan putra semata mayangnya, Sholeh, tergeletak di rumah sakit. Dalam diri putranya ini tergantung cita-cita dan harapan. Belum pernah Surti sekejab pun berpisah dengan buah hatinya ini. Ah… mengapa orang-orang di dunia ini tidak ada sedikit pun yang memiliki rasa kemanusiaan. Rumah sakit yang seharusnya mengobati orang sakit malah mengenakan biaya bagi si miskin yang justeru semakin menambah kesakitannya. Darimana uang itu didapat?
“Surti, daripada kamu jualan keliling lebih baik kau kerja saja di tempatku. Gampang dapat duit banyak dank kau tidak perlu berjalan jauh dan kecapekan sampai tua.”
Wanita yang sering disebut Mami di gang dekat rumah kontrakan Surti selalu berusaha keras membujuknya bekerja di kelab malam sekaligus rumah bordil di mana ia bekerja. Surti tidak pernah mau menaggapinya. Satu-satunya harta yang masih dia jaga adalah Sholeh dan harga dirinya. Tapi saat Sholeh tergolek tanpa daya di rumah sakit menunggu uang tebusan, Surti tidak hanya punya pilihan di antara dua, Sholeh dan harga dirinya. Saat tidak ada uluran tangan yang mau menolongnya mengatasi kesulitan, Surti terpaksa karena dipaksa oleh keadaan. Surti membulatkan tekad. Merpati putih itu masih bertengger di jendela kamarnya yang sempit. Matanya menatap tajam hingga menembus jiwa Surti. Ah, aku tidak punya pilihan, kuharap kau memahamiku.
Lelaki yang duduk di tepian ranjang itu terus menghisap nikmatnya lintingan putih yang sesekali mengepulkan asal sambil minum segelas anggur. Bau alcohol bercampur asap segera menyeruak hidung Surti dan seketika membuat perutnya meronta-ronta. Lelaki itu memandang tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki dan terus menatap lekat kea rah tonjolan kembar yang sedari tadi berusaha dia tutupi dengan kedua tangannya.
“Heh, Mami bilang kau butuh duit banyak. Jika pelayananmu memuaskan aku akan memberimu banyak uang yang belum pernah kau lihat dalam hidupmu. Mendekatlah agar aku bisa melihatmu.” Lelaki itu mengisyaratkan Surti agar duduk di ranjang sambil menyeringai puas.
Perlahan Surti mulai mendekat. Bayangan Sholeh anak semata wayangnya yang tergolek di rumah sakit menguatkan langkah-langkah kakinya yang membatu. Dari balik jendela kamar remang itu Surti melihat merpati putih bertengger di jendela. Warnanya begitu putih bagaikan awan putih yang berarak di langit desa saat Surti masih kecil. Merpati terus menatapnya dengan tajam. Warna putih itu tiba-tiba memudar mendekati kelabu…warna itu perlahan mulai menyatu dengan kelam malam. Perlahan Surti menatap lelaki di atas ranjang yang menyeringai. Saat mata mereka bertemu, seketika itu baying masa lalu tergambar jelas.
Bara api yang selama ini dipendam di kedalaman hatinya tiba-tiba mulai membakar hatinya. Panas mulai menjalar dan hatinya mulai berubah bagai bara sekam yang siap membakar sekelilingnya. Surti tidak kuasa lagi menahan bara sekam itu untuk menyambar keluar bagai panah api yang terlepas dari busurnya. Merah api yang membakar hati Surti menyatu dengan temaram kamar. Warna merah itu mulai menyatu dengan merah hitam cairan yang mulai mengaliri sprei putih di atas ranjang tua itu. Warna merah yang begitu indah di mata hitam Surti. Lolongan serigala di atas ranjang itu bagaikan simponi musik yang selama ini diam-diam dia rindungan seiringan semburan air mancur merah dari dada serigala itu…serigala itu melolong panjang sebelum akhirnya salah satu cakara tajamnya menghujam ke tubuh Surti.
Braag…terdengar suara pintu didobrak dari luar hingga roboh. Teriakan dan jeritan ketakutan mulai terdengar di seluruh rumah jahanam itu. Sirine mobil polisi mulai meraung-raung bagaikan lolongan anjing malam.
Tubuh Surti tergelepar di lantai bermandikan warna merah hitam. Pecahan botol kaca masih tergenggam erat di jari-jemarinya yang berwarna merah. Mata Surti menatap Merpati Putih yang telah berubah kelam. Merpati terbang dan hinggap di dada Surti yang kembang kempis sambil menatap tajam ke mata Surti. Warna kelam itu seketika berubah merah hitam dan sesaat kemudian berubah putih kembali bagaikan warna awan putih yang berarak di langit desa di mana dulu Surti pernah menghabiskan 15 tahun hidupnya.
“Terbanglah, ceritakan padanya tentang kisahku. Ceritakan padanya betapa besar cintaku padanya dan betapa besar benciku pada ayahnya.”

No comments: