Thursday, May 24, 2007

Tragedi

Mendung bergelayut di langit kota Solo. Rentetan awan tebal melukis angkasa hingga berwarna kelam kelabu. Matahari sore pun seakan tak punya nyali menerobos kepungan awan ini. Kilatan petir sesekali melecut bagaikan sabetan cambuk api yang siap melumat musuh yang berlari. Rintik hujan perlahan mulai menyiram…makin lama makin deras hingga menimbulkan bunyi gemuruh tatkala mencium bumi. Ah…mengapa begitu muram cuaca sore ini…bagaikan nyanyian lara yang dilantukan dalam sepi…
Kulirik jam tanganku, pukul 16.15 menit…jam kerja kantor telah usai lima menit lalu. Ehm…seingatku dulu aku paling malas mengenakan jam tangan karena kecerobohan dan kelalaianku seringkali membuatku kehilangan sejumlah aksesoris yang kupakai. Tiga kali aku kehilangan jam tangan karena lupa memakainya kembali sehabis berwudhu atau sekedar cuci tangan di toilet, cincin pemberian nenekku juga hilang. Ops…sebel banget rasanya. Tapi sejak setahun lalu, jam ini setia menemaniku. Jam tangan yang begitu istemewa…setiap melihatnya, saat itu pula dia seolah hadir di sisiku…begitu dekat seakan-akan tiada jarak yang memisahkan kami.
Tidak terasa setahun sudah dia pergi. Tiga bulan pertama begitu sering kami bertukar sms atau ngobrol lewat telephone. Bagi kami ini cukup melepaskan rasa kangen yang semakin membuncah di dada. Namun lambat laun, dia semakin jarang mengirimkan sms atau sekedar mengucapkan ‘hai’. Terakhir sms yang kuterima begitu singkat, “Kasih, meskipun nadiku telah berhenti berdetak, aku akan pegang teguh janjiku sebagaimana aku tetap setia bertafakur di atas sajadah cinta pemberianmu.”
Deg…entah kenapa rasa takut menjalari batinku. Bunyi sms yang begitu aneh seolah bukan dia yang menulis. Aku tahu ada yang salah di sana tapi jawaban tak kunjung kutemukan saat sms demi sms kukirim namun tak satu pun terbalas.
“Kasih, mau pulang sekarang nggak? Kebetulan aku mau ke rumah mertua di Klaten jadi kamu bisa nebeng, searah kan ma rumahmu? Lagian nungguin hujan reda juga percuma, hujan model begini nih pasti betah.”
“Eh…matur nuwun Mas. Terima kasih.” Ajakan Mas Bayu membuyarkan semua pikiran dari benakku. Buru-buru kuraih tas di meja dan bergegas mengikutinya.

Sesaat kemudian kami telah berada di mobil VW tua milik Mas Bayu. Meskipun butut tapi dia begitu menyayangi mobil ini. Pernah suatu ketika dia absen gak ikut perayaan hari jadi kantor kami gara-gara memperbaiki tuh mobil. Katanya mobil tua itu bagai isteri keduanya, mobil ini memiliki sejarah yang berkaitan dengan kehidupannya saat ini. Ah…ada-ada saja pikirku dalam hati. Tapi saat dia memberikan jam tangan itu padaku, aku jadi tahu perasaan Mas Bayu terhada VW tua itu. Yach…seperti halnya ikatan batinku dengan jam tangan ini. Sesuatu yang dianggap sepele oleh kebanyakan orang namun kenangan dan makna yang terkandung di dalam jam ini teramat istemewa dalam hidupku. Jam ini adalah bagian dari masa lalu, masa kini dan masa depan yang akan terus berdetak seiring waktu.
Perlahan mobil tua ini membelah jalan Slamet Riyadi menuju arah luar kota. Entah kenapa pikiran dan hatiku masih risau terus melayang mencari 1001 jawab yang tak kunjung ada. Kubiarkan saja Mas Bayu menyetir dan asyik dengan pikirannya sendiri.
“Untung kita gak hidup di Jakarta ya. Kalau hujan deres gini, wah bisa-bisa kita kejebak macet berjam-jam di jalan. Makanya aku gak betah hidup di sana, baru berjuang setahun di sana, aku dah memble. Orang pikir aku gampang nyerah kali. Tapi gimana yach, batin dan fisikku tak mau kompromi. Alhamdulillah keterima kerja di kantor kita sekarang ini jadi balik kampung lagi daku. Seandainya terus bertahan di Jakarta bisa-bisa aku mati muda kali ya…ha…ha…ha…”
Aku Cuma tersenyum mendengar celoteh Mas Bayu. Sudah puluhan kali dia menceritakan hal sama padaku. Kupikir tak apa-apa sekedar mendengarkan, toh itu tak merugikan daripada ngegosip sana-sini yang tak ada ujung pangkalnya seperti kebanyakan teman-teman wanita di kantor. Mungkin itu sebabnya aku paling dekat dengan Mas Bayu dibanding teman-teman yang lain. Lagi pula Mbak Wulan, isterinya, adalah sepupu aku yang terdekat sehingga membuat kelurga kami makin akrab.
“Kasih, gimana kabar Iman? Belum juga berkirim kabar? Tadi siang kamu nonton Metro gak? Ada berita heboh menyangkut tempat kerja suamimu?”
“Eng…gak tuh Mas? Tadi siang kebetulan Ratna ma Puji ngajak jalan ke Klewer. Emang ada apa Mas, berita apa?” Tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Terjadi kasus penganiayaan praja yunior oleh para seniornya hingga mengakibatkan kematian. Diduga kejadiannya kemarin karena saat sampai di rumah sakit, praja tersebut sudah tak bernyawa. Informasinya akan dilakukan autopsi untuk mengetahui penyebab kematiannya. Parahnya lagi diduga kuat ada keterlibatan sejumlah oknum pengajar untuk menutupi penyebab kematian tersebut. Dunia memang telah edan ya…pendidik dan senior yang seharusnya memberikan contoh keteladanan malah mempertontonkan kekerasan dan kesadisan di luar batas perikemanusiaan. Apa jadinya generasi muda kita jika dihasilkan oleh dunia pendidikan yang mengajarkan kekerasan dan penindasan terhadap yang lemah”
Ya Rabb, berita ini bagaikan anak panah yang melesat ke jantungku. Rasa cemas bercampur takut kembali menjamahku. Ya Alloh, selamatkan dia dari segala marabahaya dan bencana. Lindungi dia ya Alloh. Dalam cemas kulantunkan sepenggal doa buat dia yang selalu bersemayam di hatiku.
“Kasih, mukamu pucat banget. Aku tahu kamu pasti kuatir tapi percayalah pada Iman. Aku yakin dia bersih. Di dunia edan ini masih banyak terdapat mereka yang masih menjunjung tinggi nuraninya dan tidak gampang menyerah pada keadaan. Itulah mengapa dunia ini masih berputar normal. Coba kalau semua dah mati nuraninya, pasti kehancuran akan melanda dan kiamat segera datang”
“Aku takut Mas, firasatku selama ini benar kalau sesuatu pasti terjadi di sana. Tidak biasane Mas Iman absen berkirim kabar tapi ini sudah hampir 9 bulan tak ada berita.” Entah kenapa airmata mulai merembes tak terbendung. Buru-buru kuhapus sebelum ketahuan Mas Bayu.
“Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan Iman. Aku nanti akan coba telepon dia, barangkali kali ini bisa nyambung. Yang terpenting sekarang terus mencari kabar dan berdoa demi keselamatannya. Oh ya, mau turun di mana?”
Tidak terasa aku telah sampai di depan gang rumahku. Tepat terletak sebelum memasuki wilayah Tegalgondo, Klaten.
“Terima kasih Mas atas tumpangan dan dukungannya ya.”
“That’s what a friend for. Jangan lupa begitu ada kabar dari Iman langsung call aku ya. Minggu ini jangan lupa dating ke rumah ya, Wulan dah kangen tuh ma kamu. Katanya pengin ngobrol-ngobrol”
“Insyalloh aku akan datang Mas, tolong sampaikan salam buat Mbak Wulan.”
Kupandangi VW tua itu kembali meluncur bagaikan ular yang bergerak di tengah derasnya air.

***

Jam dinding berdentang 12 X. Entah kenapa sampai tengah malam gini mataku tak bisa terpejam. Rasa galau semakin memuncak melihat tayangan berita di berbagai saluran TV swasta yang memberitakan penganiayaan di kampus pencetak pegawai pamong praja di mana Mas Iman bekerja. Kekerasan yang telah terkuak oleh publik tahun 2003 lalu dengan tewasnya kematian salah satu praja yunior secara menggenaskan akibat perbuatan sejumlah praja senior kembali terulang lagi disaat publik hampir melupakan kejadian tersebut. Seiring berjalannya waktu semua mengira bahwa pembenahan struktural mampu menyentuh semua aspek-aspek yang diperlukan untuk mengubah budaya kekerasan yang telah melembaga, mulai dari penggantian nama sampai penggantian rektor. Saat salah satu TV swasta menyiarkan rekaman video yang memperlihatkan kebrutalan dan kesadisan para praja senior terhadap yuniornya, semua anak bangsa begitu geram dan marah. Ah…bagaimana mungkin pejabat berprestasi dihasilkan oleh lembaga yang penuh kekerasan seperti ini. Hukum rimba adalah satu-satunya yang berlaku. Yang kuat menindas yang lemah. Ya Alloh. Manusia-manusia berhati batukah mereka? Mengingatkan aku dengan film ‘300’ yang penuh dengan kekerasan dan adegan sadis. Seorang anak dididik dengan keras dan penuh kekejaman agar kelak menjadi pemimpin yang kuat dan tangguh, namun tetap disertai prinsip respect and honor. Nah, yang dipertontonkan kini hanyalah budaya kekerasan dan kekejaman yang mengabaikan prinsip respect and honor sehingga hasilnya hanyalah serigala-serigala kelaparan yang menerapkan hukum rimba. Mungkinkah pemimpin besar dihasilkan dari didikan yang penuh kekerasan dan tanpa sedikitpun welas asih.
“Mas yakin menerima tugas ini?” Tanyaku diselimuti perasaan gusar akan bahaya yang mengancam sehari sebelum keberangkatan Mas Iman ke Jakarta.
Mas Iman menatapku lekat penuh pengertian sambil mengusap rambutku. “Dik, percayalah setiap niatan yang baik akan menghasilkan hasil yang baik pula. Lagi pula pasca terkuaknya kasus kekerasan di sana sejumlah perombakan dan perbaikan telah dilakukan untuk menghapuskan budaya kekerasan itu. Bagi Mas, ini adalah kesempatan baik sebagai anak bangsa untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran demi kebaikan. Jangan sampai momentum seperti ini terlewatkan. Perombakan kultur tidak mungkin berjalan instan tapi perlu waktu yang lama serta kesungguhan. Harus tetap ada orang yang tanpa bosan memantau dan mengingatkan agar tidak tergelincir dua kali. Orang kita telah terbiasa cepat melupakan sampai pada tahap amnesia akut. Jika suatu masalah muncul ke permukaan, banyak reaksi dan komentar namun seiring waktu dan redanya pemberitaan media, kasus sama terulang lagi. Orang bilang kita itu terbiasa dengan budaya ‘anget-anget tahi ayam”
“Tapi, Kasih masih belum yakin Mas. Ibarat kasus korupsi yang telah melembaga, sulit sekali menghilangkan korupsi. Meskipun pemerintah telah berkomitmen memerangi korupsi tapi praktek di lapangan sulit dilaksanakan karena korupsi telah menyatu dengan urat nadi masyarakat kita. Lagian aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku di sini Mas. Itu artine nanti kita hidup saling berjauhan.” Sanggahku manja berharap Mas Iman mau mengurungkan niatnya memenuhi panggilan tugasnya. Ah…betapa egoisnya aku ini.
“Bilang aja kamu gak tahan berjauhan ma aku. Gitu aja kok repot.”
Kontan saja kucubit lengannya sambil pura-pura kesal dengan guyonan yang meniru salah satu mantan presiden negeri ini.
“Mas janji nanti akan sering menelepon dan berkirim kabar. Lagian seburuk apapun keadaan yang ada kita harus tetap optimis. Jika semua anak bangsa ini pesimis dan meragukan kemampuan dalam memerangi korupsi lantas siapa lagi yang akan berusaha. Optimisme masa depan lebih baik harus terus dipupuk. Jika tidak bisa berbuat banyak, lebih baik kan mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini juga. It mengapa Mas ingin berbuat yang terbaik sesuai dengan kapasitas aku sebagai seorang pendidik. Anggap saja ini jalan jihad yang musti kita tempuh. Lagipula aku ditugaskan di sana cuma 3 tahun untuk memantau perkembangan di sana. Insyalloh jika ikhlas menjalankkannya, waktu akan terasa pendek.”
Ah…Mas Iman memang pandai mengambil hatiku dengan kalimat-kalimat yang sulit kudebat apalagi jika sudah menyebutkan konsep-konsep Dai kesayanganku. Sebagai istri aku hanya berdoa mengiringi keberangkatannya. Saat melepasnya di Bandara Adi Sucipto, perasaanku campur aduk tak karuan. Di satu sisi aku mengkuatirkan keselamatannya, di sisi lain aku bangga dengan keteguhan hatinya.
“Maafkan aku Mas karena terlalu mencintaimu sehingga begitu sulit merelakan kepergianmu menjalankan tugas.” gumamku dalam hati.
Seakan tahu dengan kegetiran hatiku, Mas Iman menghampiriku dan mencium keningku kemudian memberikan jam tangan kesayangannya sambil berbisik.
“Percayalah, pada saat bunga-bunga melati di depan rumah bermekaran, aku akan kembali untuk menikmati harum melati bersamamu dan jam tangan ini jagalah baik-baik”
Ah, jam tangan kesayangan Mas Iman … suatu detak waktu yang pertama kali mempertemukan kami dan terus mengiringi kehidupan kami hingga detik ini.

Kekasih hatiku
Kaulah cahaya dan mata hatiku
Saat tangan ini tak kuasa lagi
Bergerak dan bekerja
Kau lantunkan doa agar aku tak pernah berhenti
Berjuang dan berkarya

Pujaan hatiku,
Saat prahara datang
Kutatap senyummu di langit biru
Hingga kekuatanku kembali lagi

Sandaran hatiku,
Dalam sujud aku berdoa
Dalam dzikir aku memohon
Dipertemukan kembali denganmu
Dalam rumah penuh cinta

Kudekap dan kuciumi puisi terakhir yang dikirim Mas Iman. Aku dapat merasakan kerinduan yang menyiksanya sebagaimana hari-hari kulalui tanpanya. Kuputuskan untuk mengambil air wudhu dan bersujud memanjatkan doa keselamatan bagi keluargaku, terutama bagi suamiku tercinta.
Dalam sujud, kalah semua kegalauan dan ketakutan. Kupasrahkan semua galau risau hatiku di hadapan Sang Hakim yang Maha Adil. Lantunan doa bagiakan air segar yang membasuh dahagaku yang membakar. Di atas sajadah ini, kutemukan ketenangan dan kedamaian.

***

Pukul 3.30 pagi. Kuhentikan tilawahku saat terdengar ketukan lirih di pintu depan. Siapakah pagi-pagi begini datang bertamu. Ah…apakah Ibu, tapi tidak mungkin sebab meskipun rumah ibuku tepat berada di sebelah rumahku, beliau tidak pernah datang sepagi ini kecuali waktu Bulan Ramadhan saat membangunku untuk menyiapkan sahur. Perlahan aku mendekati pintu dan mengintip dari balik tirai jendela. Sesosok tubuh berdiri di depan pintu tapi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Mulutku berkomat kamit membaca dzikir, berdoa suaya tidak satu pun orang jahat yang datang.
“Assalamu’alaikum …”. Sayup-sayup kundengar suara lelaki itu mengucakan salam.
Ya Rabbi, suara itu…aku begitu mengenal suara itu. Segera kubuka pintu dan subhanalloh….aku tidak menyangka.
“Aku ingin memenuhi janjiku padamu. Bunga-bunga melati di de depan rumah kita masih mengembang kan.”
Selesai mengucapkan kalimat itu, tubuh di depanku langsung ambruk ke dadaku. Mas Iman telah pulang. Mas Iman tidak lupa dengan janjinya.Tak kuasa menahan beban tubuhnya, kududukkan Mas Iman di beranda depan rumah sambil aku menahan tubuhnya. Kupeluk dia sangat erat. Kutatap lekat wajahnya…Ah, wajah yang sama meskipun sekarang tirus penuh memar dan membiru. Ya Alloh, kuusap wajahnya dengan air gerimis yang masih mengguyur. Badannya begitu dingin…tapi aku tak bisa meninggalkannya. Aku terus mendekap dan memelukknya sampai perlahan dia tersadar.
“Kasih…”
“Yah, Kasih di sini Mas. Kasih akan menjaga dan merawat Mas.”
“Aku tidak kalah Kasih….”
“Ya…Mas.” Airmata mulai membasahi pipiku. Aku tak kuasa lagi menahan rasa pedih saat melihat kondisi Mas Iman yang begitu rapuh, lemah dan tanpa daya. Perlahan mataku mulai menangkap ceceran kemerahan di beranda. Ya Alloh, darah…
“Mas, Kasih akan bawa Mas ke rumah sakit.”
Saat aku bergegas hendak meminta pertolongan, tangan Mas Iman menarik lenganku dan menciuminya.
“Kasih, Mas cuma ingin melihat mekar melati di pagi hari bersamamu sesuai dengan janjiku. Tak ada yang bisa merampas ini dari Mas. Temani aku ya. Dan lantunkan ayat-ayat cinta yang menyejukkan” pinta Mas Iman memelas. Suaranya begitu lemah namun penuh kelembutan.
Segera kudekap dan kupeluk dia. Lama sekali kami saling diam. Kulantunkan sejumlah doa dan dzikir. Kudengar nafasnya yang begitu lemah turun naik. Kuciumi wajah dan rambutnya sambil terus berdzikir. Saat adzan subuh terdengar, saat itu pula tak lagi kudengar tarikan nafas Mas Iman. Wajahnya begitu tenang dan seulas senyum tersungging seiring dengan melati yang bermekaran dan menebarkan semerbak wanginya. Ya Rabbi, pertemukan kami kelah dalam surgamu…

***

Langit siang masih berselimut mendung sehabis tersapu gerimis pagi. Awan kelabu berarak dalam barisan bergerak perlaham dalam sunyi. Hembusan angin mengalun lirih menemani. Gesekan rerumputan menyenandungkan kidung lara hingga menembus dinding hati. Sang matahari menundukkan wajahnya larut dalam hening sepi…
“Aku tidak kalah Kasih”. Kata-kata Mas Iman masih tergiang di telingaku. Kupandangi peristirahatan terakhir suamiku tercinta dengan segala kedukaan. Begitu singkat masa kebersamaan kami tapi begitu besar kenangan indah yang terjalin. Aku tidak kalah… ya, kebenaran akan terungkap. Tak ada seorang pun lepas dari hukuman atas perbuatan keji yang telah dilakukan. Konspirasi dan rekayasa sejumlah elit tidak akan langgeng selama masih ada orang yang mau mengorbankan jiwanya demi tegaknya kebenaran dan keadilan, selama masih ada orang yang berpegang teguh pada nuraninya, kejahatan pada suatu saat akan kalah.
Kutatap bungkusan kain di tanganku. Kugenggam erat seolah dia adalah nyawaku. Aku harus kuat karena perjuangan Mas Iman belum selesai. Perjuangan panjang ini baru dimulai dan aku harus sekuat tenaga meneruskan jalanan terjal yang telah dia rintis. Jalanan terjal yang penuh dengan ngarai dan perangkap maut. Ya, aku telah bertekad bulat untuk mengikuti jejak langkah suamiku tercinta, berjuang sampai titik darah penghabisan demi tegaknya keadilan. Perlahan kutinggalkan gundukan tanah merah yang basah dan bertabur bunga. Dan aku mulai menapaki jalan terjal itu …



Bekasi, 10 Mei 2007

No comments: