Tuesday, January 29, 2008

Ketika Kredibilitas Dipertaruhkan ...

source : http://www.mediaindo.co.id/editorial.asp?id=2008013000065005

Merusak Kredibilitas Lembaga Kepercayaan

SEORANG Gubernur Bank Indonesia menjadi tersangka? Tidak percaya, tetapi terjadi. Itulah yang menimpa Burhanuddin Abdullah, Gubernur BI sekarang. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan namanya bersama dua pejabat lain sebagai tersangka dalam kasus dana Rp100 miliar yang mengalir ke mana-mana.

Kalau mau dibilang skandal, inilah skandal ketiga yang terjadi di lingkungan Bank Indonesia. Pertama, penggelontoran bantuan likuiditas Bank Indonesia untuk menolong bank-bank dari kebangkrutan pada 1997-1998, yang ternyata banyak diselewengkan. Kedua, kasus yang menimpa Sjahril Sabirin, dan ketiga, yang menimpa Burhanuddin Abdullah sekarang ini.

Hukum, memang, harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Akan tetapi, pembuat undang-undang sadar betul bahwa ternyata dalam pelaksanaannya hukum harus memandang bulu, terutama pada lembaga-lembaga vital. Karena itu, terhadap lembaga-lembaga vital semacam Bank Indonesia yang merupakan bank sentral, undang-undang biasanya memberi mereka privilese. Kalau anggota DPR memiliki kekebalan bicara, kampus dilindungi oleh kebebasan mimbar, apakah para pejabat tinggi yang memimpin bank sentral tidak dilindungi oleh kekebalan tertentu?

Ini pertanyaan yang tidak mengada-ada. Bank sentral adalah pusat kepercayaan dunia maupun lokal terhadap otoritas dan wibawa moneter sebuah negara. Sangat riskan bila bank sentral sebuah negara kehilangan kepercayaan dunia dan publik. Karena itu, di negara-negara yang amat mengerti tentang kredibilitas yang harus dipertahankan oleh dan dari bank sentral, otoritas lembaga ini nyaris tidak tersentuh karena memiliki independensi yang luar biasa. Inilah lembaga yang hampir bahkan mustahil disentuh.

Undang-Undang Bank Indonesia ternyata hanya memberi kekebalan kecil pada pemangku otoritas bank sentral. Yaitu, bila mereka harus diperiksa karena kasus hukum, harus memperoleh izin dari presiden. Ini sama dengan bupati dan gubernur.

Seorang Gubernur Bank Indonesia, memang, bukan malaikat. Namun, negara dan penegak hukum memiliki kewenangan menempuh kebijaksanaan yang bijak dalam penegakan hukum berkaitan dengan kadar sensitivitas dan kegawatan yang diakibatkan oleh penegakan hukum yang tidak pandang bulu itu.

Misalnya, tidak terburu nafsu untuk mengumumkan Burhanuddin sebagai tersangka saat ini karena ancaman keguncangan di sektor moneter yang diakibatkan oleh kehancuran kepercayaan dunia. Toh dia akan mengakhiri masa jabatannya pada Mei. Mungkin setelah itu baru diumumkan statusnya sebagai tersangka.

Penegakan hukum bisa menimbulkan ketidakadilan yang lebih luas ketika menimbulkan keguncangan dan disorganisasi lembaga publik. Seorang wali kota dan wakil wali kota, yang sama-sama ditahan dalam kasus Medan, telah menimbulkan disfungsi organisasi pemerintahan yang merugikan rakyat banyak.

Seorang Gubernur Bank Indonesia yang dijadikan tersangka mengguncang kepercayaan dunia dan publik yang amat mengancam kestabilan moneter. Krisis moneter selalu menjadi petaka yang dahsyat. Karena itu, banyak negara yang bijak tidak mau mengalami krisis itu sehingga lebih baik mencegahnya.

Inilah saat ketika kita menyaksikan orang-orang yang dijadikan tersangka sangat produktif oleh lembaga penegak hukum. Tetapi itu semua hasil penelusuran terhadap masa lalu. Korupsi masa kini, sangat jarang.

Kalau negara dan penegak hukum Bank Indonesia bisa dikendalikan seorang gubernur yang berstatus tersangka, apakah kita hendak menyamakan BI dengan PSSI?

Kalau para pemimpin bisa dipenjara dengan gampang karena keyakinan rakyat bisa mengurus diri sendiri, apakah kita sudah sampai pada tahap kemajuan dan kedewasaan yang sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan lagi pemimpin?

Urgensi Menjaga Kredibilitas BI

Oleh Abdul Mongid

JAKARTA, Investor Daily

Pemberitaan sekitar aliran dari Bank Indonesia (BI) ke DPR baru-baru ini memberi kesan seolah-olah lembaga bank sentral kita telah dipenuhi praktik korupsi. Sebuah proses politisasi yang berlebihan dan sudah tidak proporsional.

Gonjang ganjing sekitar praktik korupsi yang menyeret nama BI berawal dari laporan Ketua Badan Pengawan Keuangan (BPK) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal keputusan Dewan Gubernur pada 2003 yang menyetujui pengeluaran dana Rp 31,5 miliar untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), amendemen UU Kepailitan dan amendemen UU Bank Sentral.

BI disebutkan juga mengeluarkan dana Rp 68,5 miliar untuk bantuan hukum terkait BLBI. Masih menjadi pertanyaan kita, apakah dana yang diberikan BI untuk membantu percepatan masalah tersebut termasuk tindak pidana korupsi?

Karena melibatkan nama institusi terhormat, yakni DPR dan BI, nuansa politik jelas menjadi sangat pekat dalam kasus ini. Berbagai jaringan televisi bahkan menseting wawancara khusus guna menjelaskan argumennya masing-masing. Tapi muaranya sebenarnya sudah cukup jelas, yakni semuanya ingin memberikan kesan bahwa korupsi di BI merupakan sesuatu yang riil, bukan isapan jempol belaka.

Sebuah proses politisasi yang berlebihan, tidak proporsional, dan sudah mengarah pada penghancuran kredibilitas dan reputasi kelembagaan bank sentral. Ingat bank sentral adalah lembaga yang hanya dapat berfungsi ketika reputasi dan kredibilitasnya diakui. Ketika kredibilitas bank sentral dan Dewan Gubernur “dihancurkan” dengan tuduhan praktik korupsi, maka sebenarnya kita juga menghancurkan salah satu pilar dari empat pilar kenegaraan modern.

Sadarkan kita bahwa ketika BI sudah tidak memiliki kredibilitas, itu berarti perekonomi kita bakal terombang-ambing?

Pengusutan Tertutup
Kita setuju kalau memang ada indikasi pelanggaran hukum, BI pun wajib diusut. Tetapi alangkah lebih bijak bila proses pengusutan atas lembaga ini dilakukan secara tertutup dan tidak perlu menciptakan sensasi. Apalagi kalau memperhatikan kasus ini secara seksama, tidak pernah ada indikasi bahwa yang korupsi adalah oknum BI. Artinya, kalau ditimbang dari bobot kesalahan, mereka yang meminta uang seharusnya lebih diberitakan daripada mereka yang memberi uang.

Kita jangan sok suci dalam melihat kasus aliran dana BI ke DPR. Ini praktik umum dan dilakukan oleh semua instansi di negeri ini. Justru ada sisi positif dari kasus ini, yakni seandainya dana ”heboh” tersebut tidak dikeluarkan BI, bisa jadi UU Kepailitan tetap akan menyamakan bank dengan perusahaan toko kelontong. Artinya, tiga orang kreditur saja sudah cukup untuk mempailitkan bank di Pengadilan Niaga.

Apakah tidak mengacaukan kalau industri perbankan kita mengalami nasib seperti kasus Asuransi Manulife yang dipailitkan oleh agen asuransi dari Malaysia?

Jangan lupa, konstribusi dana ke DPR sebenarnya merupakan tanggung jawab BI untuk menstabilkan dan mengamankan sistem perbankan. Ini seperti dana pemerintahan daerah untuk bantuan ke kepolisian saat pemilihan kepala daerah (pilkada).

Kita harus menyadari bahwa nilai reputasi dan kredibilitas bank sentral sangat mahal. Ketika kredibilitas ada, penryataan atau bahkan senyum seorang gubernur bank sentral bisa mengarahkan kurs menguat atau melemah. Mengapa Allan Greenspan yang kekuatan keuangannya kurang dari 1% dibandingkan dengan para dealer pengelola dana (fund management company) bisa memengaruhi kurs? Jawabannya, karena kredibilitas kelembagaan yang dimiliki.

Karena itu, kegagalan kita dalam menyikapi kasus aliran dana BI ke DPR bisa membawa implikasi yang lebih serius ketimbang nilai kerugian Rp 31 miliar. Pelarian modal (capital flight) besar-besaran mungkin saja bisa terjadi. Jika itu terjadi, tak terbayangkan dampak buruk bagi kestabilan ekonomi nasional.

Harus Proporsional

Kita harus proposional dalam melihat kasus dana BI ke DPR. Kasus ini jangan sampai membuat kita melupakan prestasi dan konstribusi BI selama ini. Kita harus mengakui BI telah berbuat banyak untuk bangsa ini terutama setelah krisis ekonomi 1997/1998. Penataan sistem perbankan yang makin modern, pruden dan sadar manajemen resiko merupakan konstribusi besar BI dalam membangun system perbankan nasional. Demikian juga dengan sistem lalu lintas pembayaran yang makin modern, efisien, aman dan cepat.

Pencapaian stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan juga merupakan konstribusi nyata BI. Bahkan terciptanya forum stabilitas sistem keuangan yang anggotanya BI dan penerintah merupakan kemajuan berarti dalam pencegahan krisis keuangan. Saat ini walaupun BI merupakan lembaga negara yang independen, koordinasi dengan pemerintah juga sangat baik. Ini semua merupakan prestasi yang seharusnya menjadi kredit poin BI.

Pertanyaannya, akankah prestasi dan nama baik bank sentral kita dihancurkan dengan perkara senilai Rp 31 miliar? Apakah mungkin proses penggalian informasi oleh penegak hukum (KPK) kepada gubernur BI dilakukan di kantor BI?

Semua pasti setuju bahwa proses hukum harus terus berjalan. Tapi harus diingat, proses hukum harus mengurangi dampak buruk berupa kehancuran kredibilitas bank sentral. Relakah jika reputasi bank sentral kita back to zero seperti saat 1997/1998?

Sekarang saatnya semua pihak berkonstribusi menjaga agar kredibiltas bank sentral kita tidak hancur baik di dalam maupun di luar negeri. Kredibilitas BI sangat penting, bukan untuk Dewan Gubernur dan pegawai BI tetapi bagi pemerintah, masyarakat dan perekonomian nasional. (*)

*) Penulis adalah pengajar dan Direktur PPM STIE Perbanas Surabaya

No comments: